Home » » Politisi Tua

Politisi Tua




Cerpen oleh Hafis Azhari

Sepulang dari rumah sakit, Haji Husen Hafidudin seakan berubah menjadi orang yang lain sama sekali. Perutnya yang dulu gendut bahkan menyembul dari kemeja partai yang dikenakannya, kini berubah menjadi kurus kering seperti orang-orangan sawah. Wajahnya yang bundar kemerah-merahan telah berubah menjadi cekung dan keriput, bahkan tulang pipinya menonjol dan pipinya terbenam ke dalam. Ia nampak pucat sekali. Pandangan matanya sudah kabur dan layu di bawah alis matanya yang memutih dan mengkerut.

“Alhamdulillah Pak Haji sudah sembuh. Selama Pak Haji di rumah sakit saya turut mendoakan atas kesembuhan Pak Haji. Rupanya doa saya dikabulkan,” kata salah seorang anggota partai sambil mencium tangannya.

“Ya, terimakasih,” balas Haji Husen dengan muka cemberut.

Ia pun mengambil tongkatnya dan berjalan perlahan-lahan menuju tempat peristirahatan di serambi rumahnya. Semua anggota partai yang menengoknya, ikut duduk-duduk di sana sambil menunggu wejangan-wejangan dari sesepuh mereka yang sekaligus pemimpin partainya. Belum sempat ia nyaman istirahat sepulang dari rumah sakit, ratusan anggota partainya sudah berkerumun dan berebutan, hingga tak ada jalan lain selain memberikan tangannya untuk mereka-mereka yang menciumnya.

Beberapa pengurus senior dari partai yang dipimpinnya, mencium pipinya yang keriput hingga ia merasa terganggu, gerah dan jengkel. Di dalam hatinya ia pun berkata-kata, “Bangsat! Dasar penjilat… lintah darat… kalian inilah yang menjadi pangkal dari semua komplikasi penyakitku!”
Setelah para pengurus dan anggota partainya berpamitan, menyusul rombongan lain yang terdiri dari karyawan-karyawan pabrik yang dipimpinnya. Dari pabrik itulah ia membangun kekuatan politik dengan membayar dan menggelindingkan dana miliaran untuk semua konstituen yang mendukungnya. Selama puluhan tahun pabrik itu memproduksi alat-alat rumah-tangga dalam bentuk apa saja, hingga belakangan ia lebih memusatkan perhatian pada produksi golok, dari yang sifatnya kebutuhan dapur hingga hiasan-hiasan dinding.

Salah seorang kepala rombongan memoncongkan mulutnya ke telinga Haji Husen sambil berujar, “Selamat datang Pak Haji… kami semua bersyukur atas kesembuhan dan kepulangan Pak Haji dari rumah sakit.”

Juga dibalas dengan terimakasih sambil berusaha mengendalikan rasa dongkol dan jengkelnya. Setelah semuanya mencium tangannya, ia pun duduk-duduk menyendiri sampai kemudian seorang wakil perusahaannya datang menghadap. Dengan kedatangannya itu ia lupa segala-galanya, kecuali yang teringat hanya soal perhitungan dan pembukuan yang harus menjadi tanggungjawabnya selama ia berbaring di rumah sakit.

“Mana pembukuan?” tagihnya kepada sang wakil.

Belum sempat wakilnya bangkit dari tempat duduk, tiba-tiba Haji Husen mengingat sesuatu yang amat penting, kemudian katanya dengan suara melengking:

“Mulai hari ini kamu harus umumkan kepada semua karyawan, bahwa saya tidak mau melihat adanya asap rokok di pabrik kita. Tidak boleh lagi ada karyawan yang merokok di dalam pabrik, lantas kasih tahu pada Kodir, kalau saya datang ke pabrik untuk memeriksa pembukuan, saya harus disediakan dua gelas air, yang satu air dingin dan satunya lagi air hangat. Ayo, mana pembukuan!”

Sang wakil pergi untuk segera menyampaikan pengumuman mendadak itu pada bawahannya. Dalam hatinya ia menggerutu, karena ia sendiri pun termasuk perokok berat. Tak berapa lama ia muncul lagi sambil menenteng map dan buku-buku. Haji Husen menyadari bahwa saat ini ia sedang menghadapi pemeriksaan laporan yang betul-betul merepotkan. Meskipun ia memang ahli dalam soal yang satu ini, karena telah menekuninya selama bertahun-tahun. Ia pun menghubungi beberapa karyawan lainnya untuk mengecek kesesuaian data serta mencocokkan keterangan mereka dengan apa yang tercatat dalam buku itu. Sang wakil dengan sabar mengikuti, meski mukanya muram dan jantungnya berdebar-debar jangan-jangan terselip adanya data-data palsu yang tak lepas dari pemantauannya.

Dalam waktu yang cukup lama sang wakil memperhatikan muka Haji Husen yang kurus dan kempot akibat dirusak oleh penyakit komplikasi yang menahun. Sesekali dalam hatinya ia berkata, “Mungkin ada benarnya orang macam itu diazab oleh Allah, karena Allah tidak akan zalim terhadap hamba-hamba-Nya.”

Setelah berjam-jam memeriksa pembukuan, buku-buku itu pun dikembalikan kepada wakilnya sambil menatapnya dengan pandangan aneh, suatu pandangan yang tetap menaruh kecurigaan yang ada pada dirinya. Bahkan dalam hatinya ia pun berjanji, “Awas, nanti akan saya periksa sekali lagi, bahkan berkali-kali, sampai semua yang tersembunyi dalam pembukuan itu bakal terbongkar. Mereka semuanya anjing, tetapi yang mereka ambil dari sifat anjing adalah kotorannya, lantas meninggalkan kesetiaannya….”

Kemudian sekali lagi ia berteriak kepada wakilnya yang sudah meninggalkan tempat itu, “Jangan sampai lupa apa-apa yang sudah saya bilang tadi… masalah rokok dan air hangat!”

***
Kini ia duduk-duduk menyendiri lagi. Pikirannya yang kacau terus menggodanya. Pada situasi seperti itu muncul dugaan-dugaan bahkan tuduhan kepada semua orang, hingga orang-orangnya yang terdekat yang selalu jadi kena sasaran. Sering terlontar ucapan-ucapan dari mulutnya bahwa mereka semua iri hati kepadanya yang punya kedudukan di panggung politik, serta perusahaan yang mempekerjakan ratusan karyawan. Selama ia sakit selalu saja muncul prasangka-prasangka semacam itu bahwa ia kena guna-guna, santet, teluh, sihir dan sebagainya.

Kemudian istrinya sendiri sebagai orang terdekat yang dapat giliran paling empuk. Suatu hari ditatapnya istrinya dengan mata berang sambil berkata dalam hatinya:

“Setan yang satu ini juga punya andil besar yang selalu membikin pusing kepalaku….”

Haji Husen teringat kembali peristiwa mengerikan ketika beberapa tahun lalu ia mendapat serangan jantung yang cukup gawat. Malam itu ia sudah siap-siap akan tidur, lalu tiba-tiba dadanya terasa ditusuk-tusuk keras sekali.  Setiap ia berusaha menarik napas, rasa sakit menusuk-nusuk lebih keras lagi, hingga kemudian ia menyerah dan putus asa. Dokter pun datang dan obat diberikan, tetapi selama beberapa hari ia masih bertengger di antara sadar dan tidak sadar, di antara hidup dan mati.

Pada saat yang mengerikan itu ingin sekali ia mengucap dua kalimat syahadat tetapi mulutnya begitu lemah dan tenggorokannya terasa kering. Tubuh kasarnya hampir menyerah, tetapi rohnya masih terikat pada dunia dan asesorisnya, sehingga matanya berlinangan serta pandangannya membayangkan jeritan hati dan permintaan tolong. Hanya saja ajalnya masih ditangguhkan, dan saat-saat yang kritis itu pun dilaluinya, dan ia kembali sembuh.

Sedikit demi sedikit ia kembali ke gelanggang politik dan bisnis, bahkan bermimpi seandainya ia betul-betul sehat dan segar bugar seperti di masa muda dulu. Tetapi kemudian ia teringat pada pantangan-pantangan yang diberikan dokter yang membuat impiannya jadi suram. Ya memang, ia sudah selamat dari maut, tapi sekarang dia berubah menjadi makhluk baru dengan tubuh yang kurus dan jiwa yang sakit. Bahkan jiwa yang sakit itu semakin meretas menjadi kebosanan, gelisah, rasa benci dan amarah kepada semua orang.

Sesekali dalam hatinya bertanya-tanya tentang dosa apakah yang dilakukannya hingga Allah memberikan hukuman yang sedemikian pedihnya. Namun belum selesai ia merenungkan persoalan itu pikirannya tergoda kembali oleh urusan-urusan duniawi, karena ia begitu mencintai kedudukannya, harta kekayaannya dan keluarganya. Pada saat seluruh keluarganya berkumpul di sekelilingnya dalam keadaan antara hidup dan mati, ia merasa sedikit nyaman ditemani orang-orang yang mencintainya, tetapi apa untungnya buat si mati meskipun dikerumuni oleh orang-orang yang menangisinya. 

Seketika muncul lagi pikiran-pikiran aneh bahwa biang keladi dari rasa sakit yang dideritanya itu akibat ulah lawan-lawan politiknya. Di Banten ini memang banyak partai-partai yang saling bertikai, baik yang secara halus maupun terang-terangan, tetapi yang secara halus inilah yang paling memusingkan dirinya daripada yang bersaing secara terang-terangan. Tiba-tiba ia merasa dirinya sebagai orang yang paling bersih di dunia politik, bahkan merasa tidak punya dosa di hadapan Allah. Tetapi mereka-mereka itulah yang banyak dosanya. Mereka itulah yang punya sifat iri dan dengki kepadanya. Belum lagi para staf-staf di pabriknya yang punya sifat korup, licik dan seenaknya memalsukan pembukuan yang dilaporkan kepadanya.


Begitulah keadaan Haji Husen Hafidudin, hingga ketika diterima laporan terakhir  dari sebuah harian Banten, karirnya di panggung politik dan prestasinya di dunia bisnis telah hancur berkeping-keping. Dulu ia termasuk salah seorang tersukses di Banten ini, tetapi wajahnya yang senang itu telah berubah menjadi wajah muram berkepanjangan. Gangguan yang menimpa kesehatannya cukup parah, tapi yang lebih parah lagi adalah gangguan yang menimpa jiwanya. *** 

0 comments:

Post a Comment

Manfaat Crystal-X

Toko Kirana

Cari Loker Disini


Popular Post

PRODUK UNIK JANGAN DI-KLIK
Copyright © 2013 Ahmad Tohari Pages . All rights reserved.. Powered by Blogger.