Home » » JIKA AKU CALON BUPATI (Wahana Introspeksi Diri)

JIKA AKU CALON BUPATI (Wahana Introspeksi Diri)

Oleh Pujiah Lestari – Alumni Ponpes Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak, Banten

Banyak yang telah kupelajari perihal kiat-kiat menjadi penguasa daerah. Cukup banyak strategi kekuasaan yang dapat menjadi acuan, hingga apa yang menjadi puncak harapanku bisa tercapai dengan mulus. Aku membaca kiat-kiat Machiavelli tentang teori mengambil-alih kekuasaan, tapi lebih detil lagi yang diajarkan Penguasa Orde Baru yang menyebar di internet akhir-akhir ini, dengan tema yang sangat interesan: “Catatan Harian Seorang Mantan Presiden”.

Hal yang penting menggugah pikiranku adalah pemanfaatan media, agar lebih memperkenalkan diri di tengah masyarakat. Akan kupersiapkan anggaran khusus agar sebaran di tengah masyarakat kian merata, misalnya pembuatan kalender, spanduk, banner hingga baliho berukuran raksasa. Untuk suatu desa yang dipandang perlu penyediaan media yang lebih besar lagi aku pun akan mempersiapkan alokasi dana yang ditujukan untuknya.

Pengadaan ribuan kaos yang sesuai dengan warna favorit dari partai pengusungku, adalah trik yang sudah lama namun masih tetap valid. Ribuan kaos itu akan kubagikan untuk kalangan pemuda, pemilik warung, tukang ojek, sopir angkot hingga ibu-ibu pengajian. Sedangkan untuk menjangkau kalangan menengah ke atas harus kupersiapkan anggaran khusus untuk pembuatan iklan di media cetak hingga elektronik. Kalau perlu akan kutambah biaya tersendiri untuk perpanjangan masa tayang, baik melalui radio maupun televisi lokal.

Sebagai pemangku tunggal dari hajat politik ini, tentunya aku sendirilah yang akan mempersiapkan pendanaan itu, bahkan aku sendiri yang menjadi penanggungjawab setiap penyelenggaraan acara. Misalnya acara seminar, talk show, silaturahmi, hingga sambutan di kalangan ibu-ibu pengajian. Karenanya akan kupersiapkan orang berpengalaman yang menjadi juru bicara, hingga event organizer untuk membentuk kepanitiaan. Tentu saja para peserta tidak mungkin hadir pada acara-acara tersebut dengan gratis, manakala tidak dipersiapkan anggaran khusus untuk biaya transportasi, konsumsi, akomodasi dan seterusnya.

Supaya muncul kesan seolah-olah aku adalah calon pemimpin yang loyal dan dermawan, akan kupersiapkan anggaran tersendiri untuk pemasangan paving block pada beberapa gang di kampung-kampung yang merupakan pendukung setiaku. Jika ada yang mengusulkan pemberian santunan bagi kaum miskin, orang jompo, pembangunan gardu ronda  hingga rehabilitasi langgar dan mushola, aku pun harus bersedia untuk memenuhinya. Kalau perlu aku akan kerjasama dengan PMI atau Ormas Kepemudaan untuk acara pengobatan massal hingga donor darah.

Jikapun saat ini dana mahar dipersoalkan, dan memang tidak ada partai politik yang terang-terangan menentukan jumlah biaya mahar, tetaplah dana untuk itu harus kupersiapkan. Mereka akan menyiasati hal tersebut dengan cara pengadaan survey, sebagai modus operandi untuk menyiasati publik. Biarlah kumaklumi saja, meskipun dana untuk biaya mahar ini terlampau besar. Karena toh mereka sudah lihai dengan pola-pola siasat yang telah kurancang, dan loyalitas mereka pun tiada lain hanya ditujukan untuk uang dan kekuasaanku.

Lantas, untuk menyiasati loyalitas mereka agar tidak berpaling ke “lain hati”, akan kuprioritaskan tim inti yang berbaris di bangku depan, kutambahkan bonus-bonus tertentu, agar tidak lirik sana lirik sini seolah-olah rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput di halaman rumahku.

Kini yang menjadi batu sandunganku, munculnya berbagai opini yang menyudutkan bahkan menentang pencalonanku nanti, misalnya artikel yang ditulis Nurul Fauziyah, M. Zakaria, Sulaiman Djaya, Irawaty, Encep Abdullah, Noviariesta, Kiai Chudori hingga Hafis Azhari yang pernah menulis wacana bertajuk “Hasrat Penguasa Mengukir Sejarah”. Kalau tidak salah, dia itulah yang pernah menulis sebuah novel “Pikiran Orang Indonesia” yang peluncurannya diadakan di beberapa pesantren dan kampus perguruan tinggi. Sebagai calon penguasa daerah aku tak mau berurusan dengan dunia sastra, literasi maupun tetek-bengek tulis-menulis. Dan setalah aku berkuasa nanti, biar sajalah dunia seni dan sastra berkembang sendiri, biar mengais-ngais berkalang tanah sekalipun.

Mengingat problem yang serius ini kelak akan kususun kepanitiaan agar melobi kalangan penulis agar menyatakan pemihakannya dalam rubrik-rubrik opini. Kalau perlu kusediakan anggaran khusus untuk merekrut kalangan jurnalis dan pemred-pemred harian se-Banten. Sekali lagi “se-Banten”. Bahkan untuk membeli halaman khusus opini di seluruh koran-koran adalah alternatif penting yang harus kuperhitungkan. Bagiku mudah sekali menjangkau hal tersebut, baik secara finansial maupun lobi-lobi politik yang kelak kuagendakan. Bahkan kalau perlu akan kukerahkan para seniman lokal agar berkoar-koar menyatakan dukungannya kepadaku.

Pada momentum Ramadhan seperti ini, perlu juga dimanfaatkan orang-orang yang dianggap terpandang, misalnya seorang ustadz yang sanggup mengumpulkan ribuan massa untuk mengadakan tabligh akbar maupun istighosah kubra. Bukan perkara gratis untuk mengadakan semua itu, karenanya aku pun harus menyediakan anggaran bagi para pendakwah dan mubaligh yang kelak memimpin acara tersebut. Tentu saja konsumsi maupun transportasi untuk para hadirin yang diundang memerlukan anggaran tersendiri.

Tetapi yang membikin aku harus punya perhitungan adalah munculnya novel berjudul “Perasaan Orang Banten” yang kabarnya ditulis oleh seorang lulusan UIN Jakarta yang sebelumnya mondok di pesantren Daar El-Qolam pimpinan K.H. Rifa’i Arief. Kabarnya novel tersebut bicara banyak tentang seluk-beluk perpolitikan Banten maupun Indonesia. Kalangan penulis begitu geger menyoal hal tersebut, baik yang menilai positif maupun negatif, dan tentu saja pilihan yang kedua aku harus menentukan pemihakannya.

Belakangan ini semakin bermunculan opini-opini miring berjudul “Ramalan Budaya Menggelinding”, “Sastra Mendahului Zamannya”, bahkan cerpen berjudul “Poliisi Tua” hingga “Wafatnya Tokoh Politik”. Ada apa ini? Ada persoalan apa di Banten ini? Apakah kiamat semakin nampak di depan mata? Bagaimana aku harus memuluskan langkah-langkahku mencapai cita-cita tertinggi untuk menggapai keberhasilan dalam hidup?

Tapi kini aku tersentak kaget saat mendengar wejangan dari seorang Kiai Sufi Banten, bahwa sukses duniawi tidak menjamin adanya hidup tenang dan damai. Kedudukan dan harta melimpah sama sekali tidak identik dengan rizki yang berkah. Seberapa banyak orang kaya berkedudukan namun hidupnya sengsara, tapi tidak sedikit juga orang yang hidupnya sederhana namun selalu ia diliputi oleh ketenangan dan kebahagiaan.

“Kalaupun tidur yang nikmat itu bisa dibeli dengan harga kasur yang paling empuk dan mahal, mestinya para politisi dan penguasa itulah yang bisa menikmati itu, tapi nyatanya tidak!” tandasnya.

Bahkan setelah berulang kali aku membaca novel “Perasaan Orang Banten” dari seorang relawan Rumah Dunia, betapa aku mempelajari bahwa perkara politik-praktis bukanlah satu-satunya yang substansial untuk membangun peradaban umat. Sungguh menggelikan permainan calon penguasa itu, terutama ketika aku membaca bab 13 halaman 113, bahwa mereka merasa senang dan bangga ketika orasi politiknya dihadiri ribuan pengunjung yang memadati lapangan kampanye. Padahal mereka-mereka itu datang bukanlah inisiatif pribadi, namun karena dibayar oleh sang pemangku hajat. Ironis sekali, bukan?

Pada akhirnya, aku pun harus berpegang pada prinsip yang diajarkan Rasulullah, bahwa beliau menganjurkan umatnya agar sanggup mengendalikan keinginan dan hawa nafsu, bukan merancang berbagai tipu muslihat agar meraih segala hasrat dan keinginan duniawi. Bagaimanapun seorang pemimpin harus berpikir dan berjiwa lapang. Jika pikirannya dangkal dan sempit ia akan mudah terombang-ambing oleh emosi hingga memutuskan segala kebijakan secara tidak adil dan sewenang-wenang. ***

0 comments:

Post a Comment

Manfaat Crystal-X

Toko Kirana

Cari Loker Disini


Popular Post

PRODUK UNIK JANGAN DI-KLIK
Copyright © 2013 Ahmad Tohari Pages . All rights reserved.. Powered by Blogger.