Cerpen Hafis Azhari
”Kita hadapi saja apa yang akan terjadi.”
“Tapi
Mas dibayar berapa dengan melakukan perlawanan seperti itu?”
“Ini
bukan perkara uang, Ris, tapi perkara mental kita, kekuatan kita untuk
menghadapi problem hidup.”
“Alaah
taik kucing! Persoalan apa yang tak bisa diselesaikan dengan uang, Mas?”
Untuk
ke sekian kalinya Rista mengeluh dan menggerutu di hadapan Somad suaminya.
Sebagai pemuda yang berkiprah di dunia kewartawanan, Somad memegang
prinsip-prinsip yang berseberangan dengan istrinya dalam beberapa hal. Misalnya
dalam soal kesederhanaan dan hidup bersahaja. Menurut Somad, pantang baginya
untuk bersaing dalam hal-hal yang bersifat kebendaan. Ia berusaha untuk kukuh
memegang prinsip-prinsip jatidirinya sebagai wartawan, apapun konsekuensi yang
akan dihadapi di kemudian hari.
Kali
ini ia harus berurusan dengan aparat-aparat perusahaan Stone Engeneering
yang merupakan anak cabang dari PT. Krakatau Stone. Pasalnya adalah hasil reportase yang dia
buat seminggu lalu di harian Banten Bangkit, yang kemudian banyak
menyulut pro-kontra di kalangan masyarakat Cilegon dan karyawan PT. Krakatau
Stone. Pembuangan limbah dari perusahaan anak cabang itu telah mengaliri
sungai Ciwandan yang dikabarkan sudah melampaui ambang batas. Tetapi pihak
perusahaan menampik pemberitaan tersebut, bahkan dua orang security berjanji
akan melaporkan Somad kepada pihak yang berwajib sebelum ia menyatakan
permintaan maaf di seluruh koran-koran Banten.
“Permintaan
maaf untuk apa?” Somad bersikukuh di hadapan istrinya.
“Emangnya
Mas itu siapa? Apakah Mas itu seorang politisi atau pengusaha besar yang kebal
hukum, begitu?”
“Ris,
aku sudah melakukan tugasku apa adanya, bahkan aku pun sudah melakukan riset
bersama mahasiswa Untirta tentang kebenaran limbah itu.”
“Tapi
Mas terlalu kecil untuk berhadap-hadapan dengan mereka, seperti cicak dan
buaya.”
“Ya
tenang saja, Ris, semua orang tahu aku ini hanya seorang wartawan, tapi biarlah
kebenaran menyatakan dirinya sebagai kebenaran.”
***
Kini
kehamilan Rista sudah memasuki bulan ketujuh, sementara mertua Somad yang dari
Pandeglang mendesak istrinya agar melakukan selamatan “nujuh bulan” di
kampungnya berdasarkan adat Sunda. Bagi Somad sendiri, tak peduli apakah akan
diadakan dengan adat Sunda, Jawa maupun Batak sekalipun. Meski ia pun mengukur
kemampuan finansial yang terbatas untuk penyelenggaraan-penyelenggaraan acara
seperti itu. Tapi ia menyadari betapa pentingnya hal-hal seperti itu bagi
istrinya, dan terutama bagi mertua dan keluarganya di kampung halaman. Ia tak
mau mengadakan konfrontasi lebih jauh, karena ia pun menyadari, di balik
kelemahan seorang wanita terkandung banyak kelebihan yang kadangkala sulit
untuk diakui oleh banyak pria.
“Jadi
kita harus bagaimana, Mas? Berapa dana yang kita miliki untuk acara selamatan
itu?”
“Kita
hadapi saja, Ris, apa yang akan terjadi.”
“Mas,
aku sudah bosan mendengar kata-kata seperti itu. Aku membutuhkan fakta yang
riil, yang nyata, apa yang harus kita persiapkan untuk acara di kampung nanti.”
“Tenang
saja, Ris, kita jalani saja apa yang ada di hadapan kita.”
“Mas?!”
***
major-bidi; mso-bidi-theme-font: major-bidi; mso-hansi-theme-font: major-bidi;">Bisikan-bisikan
itu terus menyelimuti hari-hari Somad untuk menghentikan pemberitaan tentang
limbah perusahaan itu. Beruntung ia mendapat support dari pemimpin
redaksi Banten Bangkit untuk terus melakukan langkah-langkah yang ia
tempuh, sambil menjalin kerjasama dengan jurusan Kimia di Untirta. Namun pada
malam harinya ketika ia sedang berbaring di samping istrinya, serta-merta sang
istri bertanya:
“Mas,
berapa tawaran mereka untuk kita?”
“Maksudmu?”
“Berapa
yang mereka tawarkan untuk menghentikan pemberitaan itu?”
“Bukan
untuk menghentikan pemberitaan, Ris, tapi untuk suatu permintaan maaf.”
Somad
terdiam sesaat. Setelah menghela napasnya ia pun menjawab, “Tawaran mereka
cukup tinggi, Ris.”
Somad
pun menyebutkan jumlah penawaran itu di hadapan istrinya, hingga sang istri
menyimpulkan seketika:
“Menurutku,
tidak ada salahnya Mas menyatakan maaf.”
“Maaf
untuk apa? Kesalahan apa yang aku lakukan selama ini?”
“Jangan
sombong Mas, semua manusia tidak luput dari salah dan dosa.”
“Ini
bukan perkara kesombongan Ris, tapi kesalahan apa yang aku lakukan terhadap
perusahaan itu? Kenapa aku harus minta maaf karena persoalan yang tak jelas
letak kesalahannya di mana?”
Suasana
hening dan tegang. Tak berapa lama Somad berkata sambil mengepalkan kedua
tangannya, “Aku hanya mengungkapkan fakta yang ada di lapangan. Aku hanya
menyampaikan kebenaran, biar terasa pahit sekalipun!”
Mereka
saling diam terpaku. Somad merogoh kantongnya untuk mengeluarkan dompet. Ia
mengeluarkan semua uang yang ada dalam dompet itu, kemudian menaruhnya di atas
meja sambil berucap, “Ini ada dana secukupnya untuk selamatan. Tadi pagi aku
menerima honor dari kerjasama yang aku lakukan dengan Untirta. Kita harus
terbiasa mengadakan acara-acara seperti itu dengan cara-cara yang simpel dan
sederhana.”
***
Hari-hari
berikutnya Somad mengerjakan tugas-tugasnya untuk meliput kejadian-kejadian di
lapangan. Dalam beberapa minggu memang tak ada berita yang paling dominan
kecuali santernya berbagai komentar dan tanggapan pembaca mengenai kasus
pembuangan limbah itu. Kabarnya masyarakat Ciwandan melayangkan gugatan kepada
pihak perusahaan yang dikawal oleh sekelompok LSM yang bergerak di bidang
lingkungan hidup.
Somad
tetap konsisten untuk meliput fakta-fakta yang ditemukannya di lapangan, meski
ia menyadari hari-hari yang semakin mendekati persalinan istrinya hingga
memasuki bulan kesembilan. Tawaran pihak perusahaan semakin meninggi agar ia
menghentikan laporan-laporan yang disampaikannya dari hasil penelitian di
lapangan. Kali ini pihak perusahaan tidak berani menyatakan secara terbuka untuk
mengadakan konfrontasi langsung dengan para wartawan. Di samping mereka pun
kewalahan menangani gugatan masyarakat setempat yang disokong oleh kekuatan
LSM.
Detik-detik
terakhir menjelang istrinya melahirkan telah tiba. Somad segera membawa
istrinya ke rumah sakit, meski ia belum mempersiapkan dana yang cukup untuk
biaya persalinan. Di depan pintu gerbang rumah sakit, tiba-tiba dua orang
menghampiri dirinya sambil mengeluarkan cek dengan jumlah uang yang sangat
tinggi.
“Uang
dari mana ini?” Somad tersentak kaget.
“Tenang
saja Pak, kami utusan dari Desa Ciwandan telah memenangkan gugatan di
pengadilan. Uang ini dari patungan semua warga Ciwandan yang menerima
kompensasi dari perusahaan Stone Engeneering. Sekarang perusahaan itu
sedang membangun water treatment agar tidak melakukan pembuangan limbah
melalui sungai. Selama beberapa minggu ini, perusahaan itu tutup untuk tidak
berproduksi, sampai water treatment itu selesai dibangun.”
Somad
mengucapkan terimakasih, sambil bergegas mendampingi persalinan istrinya,
lantas menyambut kehadiran sang jabang bayi dengan kata-kata:
“Tenanglah Nak, kita hadapi saja apa
yang akan terjadi…” ***
0 comments:
Post a Comment