Home » » Ketika Sastra Harus Bicara

Ketika Sastra Harus Bicara

Oleh Pujiah Lestari

Masyarakat yang berperadaban tinggi pada prinsipnya sepakat bahwa sastra dan jurnalistik adalah wahana penting untuk membangkitkan umat manusia dari ketidaksadarannya, atau dari “tidurnya” yang panjang. Setiap karya literasi yang baik biasanya menampakkan raut-raut yang sama, mengatasi gaya realisme sosialis, yakni ekspresi psikologis yang kompleks dan kadang-kadang melompat dari gatra satu ke dimensi lainnya. Karya-karya simbolis mereka bukanlah cernaan bahan baca yang ringan, karena pembaca akan ditantang memasuki bermacam-macam lembah yang membutuhkan kedewasaan pandangan yang sangat matang. Artinya, seorang pembaca harus sanggup menilai suatu kejadian dalam sebanyak mungkin dimensi, dan pada akhirnya mampu memetik hikmah kebijaksanaan darinya.

Misalnya karya seorang novelis Banten berjudul “Pikiran Orang Indonesia” (Fikra Publishing, Jakarta, 2013). Kata demi kata berhasil dirajut oleh penulisnya bagaikan “bara api” yang menjebol intervensi rezim yang menghendaki lestarinya status quo. Begitupun dalam cerpennya yang berjudul “Kuli Tinta” atau “Sang Wartawan” (www.ahmadtohari.com) yang menampilkan nilai-nilai humanitas dan kemanusiaan melalui daya imajinasi yang menyibak kabut-kabut dalam kalbu kita selama ini.

Pewartaan literasi yang digagasnya sanggup membuka kedok-kedok yang dengan rapi disimpan dan dirahasiakan rezim penguasa dari masa ke masa. Seperti ungkapan penulisnya yang pernah disampaikan semasa kekuasaan Orde Baru (1995): “Apabila jurnalisme kesulitan untuk menjadi media dalam mengungkap nilai-nilai kebenaran, maka sastra harus berdiri di baris depan!”

Bila kita membuka memori kelam semasa tahun-tahun itu, misalnya pembredelan majalah Tempo, Editor dan Detik. Sebelum itu pun majalah mingguan Jakarta-Jakarta yang dimutasi lantaran melaporkan kerusuhan massal di Santa Cruze, Timor-Timur (1991). Akibatnya hasil reportase yang disiapakan untuk edsisi berikutnya digagalkan oleh rezim. Hingga akhirnya para jurnalis bahkan pemrednya sendiri, Seno Gumira Adjidarma memilih untuk menulis sastra dalam kumpulan cerpennya yang berjudul “Saksi Mata”.

Ya, ketika jurnalisme dibungkam maka sastra harus berani tampil ke depan. Karena pada prinsipnya karya jurnalistik bicara dengan fakta sedangkan karya sastra bicara dengan kebenaran dan hatinurani umat. Meskipun sebuah fakta dimanipulasi bahkan ditutup dengan tinta hitam, tetapi kebenaran akan tetap tampil ke permukaan. Boleh-boleh saja buku sastra dibredel dan diembargo, bahkan oligarki kesusastraan dikuasai oleh rezim pemodal tertentu, tetapi kualitas sastra yang baik akan menyatu bersama udara, menyibak kabut hingga menembus langit.

Seorang pendakwah agama mungkin saja berdakwah secara radikal bahkan ekstrim, tetapi nilai-nilai kebaikan dalam karya sastra harus disampaikan secara lentur dan bijak demi kualitas dan keabadian karya sastra itu sendiri. Di sini kita akan coba mengupas gaya dakwah melalui karya sastra yang tujuan utamanya membikin manusia lebih manusiawi dan beradab. Misalnya pada pada novel “Pikiran Orang Indonesia” (Hafis Azhari) yang bicara tentang ingatan dan memori kolektif masyarakat Indonesia, ketika mentalitasnya dikuasai oleh belitan doktrin dari penguasa diktator yang tak mau peduli pada kemajuan pendidikan dan kebudayaan rakyatnya.

Sang tokoh kemudian menyadari pentingnya pertumbuhan yang layak bagi seorang anak bangsa, agar tidak dikelabui oleh kepentingan politik Orde Baru yang disusupkan ke dalam otak dan memori rakyat. Dengan demikian kebohongan-kebohongan publik yang direkayasa makin tersingkap dengan jelas, agar rakyat Indonesia tidak lagi terjebak untuk menghormati “sang pahlawan” yang sebenarnya tidak layak diberi penghormatan.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari karya sastra yang selalu berpikir multidimensional itu? Bagi para birokrat dan politisi kita yang hobinya pencitraan melulu, mungkin akan tergopoh-gopoh memahami karya sastra yang berdimensi mendalam itu. Berbeda dengan kalangan jurnalis yang sanggup berpikir out of the box. Biasanya mereka rela berjuang dan mengabdikan dirinya kepada umat di luar institusi kasatmata, yang merupakan lambang agama formal. Bagi mereka, yang dipentingkan dari tujuan dakwah adalah membuat manusia menjadi bermoral, beradab dan tercerahkan. Terlepas apakah dakwah itu dalam bentuk opini, reportase, sastra maupun ceramah langsung di masjid dan majlis ta’lim.

Tentu saja seorang jurnalis dan sastrawan yang ikhlas berkarya, jauh lebih mulia ketimbang seorang penguasa diktator yang tega memeras sumber daya alam maupun sumber daya manusia dari rakyatnya. Logika macam apa yang bisa membenarkan seorang penguasa kaya-raya yang dihasilkan dari merusak dan mengeruk sumber daya alam, meskipun dia bersikeras mengkultuskan dirinya sebagai “bapak pembangunan”? Bukankah kekayaan yang dihasilkan dari iklim yang tidak adil, biasanya harta-harta itu adalah buah dari iklim semacam itu. Dan berapa banyak orang yang rizkinya melimpah dan prestasinya meningkat, namun tidak ada titik kebahagiaan dalam hidupnya? Padahal sasaran yang ingin dicapai dari uang dan kesuksesan itu adalah nilai kebahagiaan dalam hidup.

Novel “Pikiran Orang Indonesia” mengajarkan kita bahwa kemuliaan dan keberkahan hidup tak bisa dibayar oleh materi sebanyak apapun. Generasi masadepan harus terbebas dari kepamrihan kaum birokrat dan politisi yang sibuk dalam pencitraan dan kebohongan publik. Tetapi bukankah karya sastra adalah karangan manusia, yang identik dengan kebohongan juga? Ya, tapi seandainya kebohongan itu mesti diciptakan, apakah kebohongan itu bersifat mendidik dan mendewasakan, atau justru mengkerdilkan dan membodohi rakyat? Di sinilah titik persoalannya.

Melalui novel yang semakin hangat menjadi perbincangan publik ini, karakter para penguasa yang mewarisi watak Orde Baru, sangat gampang dipahami. Karena yang seringkali mereka omongkan selalu saja berseberangan dengan prinsip kejujuran yang menjadi syarat multak bagi pemimpin yang adil. Dunia sastra dan jurnalistik biasanya dianggap “subversif” oleh mereka, karena dengannya transparansi dan kejujuran akan disingkap dengan baik, hingga memasuki psikologi manusia yang paling terdalam. Selamat membaca (klik attachment!) ***

– Penulis adalah alumnus Ponpes Al-Bayan, Rangkasbitung, Lebak, serta aktif di organisasi K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia).

0 comments:

Post a Comment

Manfaat Crystal-X

Toko Kirana

Cari Loker Disini


Popular Post

PRODUK UNIK JANGAN DI-KLIK
Copyright © 2013 Ahmad Tohari Pages . All rights reserved.. Powered by Blogger.