Home » » Akulah Penggemar Gelapnya

Akulah Penggemar Gelapnya

Ditulis oleh Sayono Eljawie-www.nusantaracentre.org


Waktu itu, tahun 1991, ketika sedang memilih-milih buku yang akan kupinjam di perpustakaan sekolahku, kudapati ada novel yang menarik hatiku untuk membacanya.  Sebuah novel dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Aku tertarik karena judul itu mengingatkanku pada masa kecilku yang sering menonton reog atau lengger. Sebuah tontonan musik khas Banyumasan. Disebut juga calung Banyumasan, karena alat musiknya didominasi oleh alat musik yang namanya calung. Penyanyinya, yang juga menari disebut lengger atau ada sebagian yang menyebutnya ronggeng. Inilah yang membuatku penasaran untuk membaca novel tersebut.

Novel tersebut sebetulnya tak begitu tebal, namun ketika kubaca, seakan aku dibawa masuk dalam alam Dukuh Paruk, di mana berisi tentang kesahajaan dan keluguan masyarakat kampung tersebut. Sebuah kampung yang masyarakatnya masih sangat kuat memegang adat dan budaya peninggalan leluhur mereka, Eyang Secamenggala, yang dipercaya selalu ngawat-awati anak cucunya. Kampung yang seakan terisolir dari dunia luar, dengan masyarakat yang hidup apa adanya.

Di sinilah aku terkagum-kagum dengan penulis buku tersebut yang berhasil menyuguhkan potret kehidupan yang seakan para pembaca turut terlibat di dalamnya. Tak jarang para pembaca dibuat menahan emosi, menahan napas dan tak jarang pula sedih dan geram dengan peristiwa yang disuguhkan penulis dalam novel tersebut. Dengan bahasa yang sangat memikat penulis membuat pembaca terbuai dengan lakon-lakon yang disuguhkan.

Selesai membaca Ronggeng Dukuh Paruk, aku makin dibuat penasaran dengan kelanjutan ceritanya, karena memang masih ada novel lanjutan, yakni Lintang Kemukus Dinihari. Kutanya ke sana kemari di mana aku bisa mendapatkan novel lanjutannya. Beruntung tak berapa lama kudapatkan juga novel tersebut. Hampir tiada bedanya dengan novel pertama, novel kedua pun dengan sangat menarik penulis suguhkan. Dengan gaya bahasa yang khas, tidak tedeng aling-aling. Namun demikian, walaupun melukiskan tentang erotisme, penulis tidak vulgar dalam memaparkannya. Ahh…sungguh novel yang sangat bagus, karena berisi dengan pitutur luhur dalam tiap lembarnya. Lembar-demi lembar kulahap habis dari kata per katanya.

Sampai di lembar terakhir novel kedua, aku makin dibuat penasaran dengan apa yang telah kubaca. Ternyata novel kedua pun masih belum selesai kisahnya. Masih ada lanjutan di novel ketiga, dengan judul Jantera Bianglala. Syukurnya novel ketiga dapat dengan mudah kuperoleh di perpustakaan. Waktu itu sebenarnya aku ingin memiliki novel-novel tersebut, namun apa daya uang sakuku tak memungkinkan untuk dapat membelinya. Cukuplah pinjam diperpustakaan, yang penting rasa penasaranku dapat sedikit terobati.

Berbekal pembacaan pada novel pertama dan kedua, dengan sangat mudah aku dapat mengikuti alur cerita novel ketiga tersebut, yang memang masih menceritakan dukuh Paruk sebagai setting ceritanya. Tentunya dengan tokoh-tokoh yang sama, yakni Srintil, Rasus, pasangan Sekarya, pasangan Kartareja, Sakum dan anak-anaknya, Bajus dan masih banyak lagi. Semua digambarkan dengan sangat alami perwatakannya oleh penulis.

Berhari-hari aku merasa seakan turut lebur dalam peristiwa-peristiwa yang disuguhkan oleh penulis dalam novel tersebut. Timbul rasa penasaranku, seperti apakah orang yang telah menulis novel-novel tersebut. Ahmad Tohari, nama yang membuatku terkagum-kagum dengan kepiawaiannya membuatku terbuai dengan cerita yang disuguhkan. Namun sayangnya, ketika itu aku masih siswa SLTA yang masih sangat terbatas pengetahuannya, sehingga jangankan untuk menemuinya, sekedar tahu siapa Ahmad Toharipun aku tak dapat menjawabnya. Tahun demi tahun akhirnya kulupa dengan rasa penasaranku. 

Sampai akhirnya ketika aku duduk di smester empat, di tahun 1995, grup teater kampusku mengadakan pentas keliling di empat kota, termasuk Purwokerto. Tak disangka-sangka di akhir pertunjukan ada seseorang yang turut memberikan komentar, dia menyebut dirinya Ahmad Tohari. Seketika hatiku bersorak gembira. Inilah orang yang selama ini diam-diam kukagumi. Penampilannya sederhana, bersahaja, tutur katanya juga sangat santun, walaupun saat itu jelas-jelas kami ini mahasiswa yang masih bau kencur, jauh sekali kalau dibandingkan dengannya yang sudah sangat terkenal. Di situlah kekagumanku kepadanya makin bertambah. Kesahajaan, kesantunan serta kepeduliannya sangat dapat kami rasakan.

Dari situlah aku mulai mencari-cari hasil karyanya yang lain, yang ternyata sangat banyak. Di samping Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982), Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel,1985), masih ada karyanya yang lain, yakni Kubah (novel, 1980), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).

Itulah sekilas Ahmad Tohari yang kukenal, walau aku yakin dia tak mengenalku. Tapi tak mengapa, yang penting, darinya aku jadi makin sadar bahwa orang besar tak harus membesar-besarkan dirinya. Biarlah alam yang mengabarkannya, karena prestasinya, karena karya-karyanya. Dengannya orang akan kekal dan abadi dalam ingatan semesta.[]

Temukan artikel-artikel menarik tentang ke-Indonesia-an dan lokalitas hanya di www.ahmadtohari.com.
Jatuhkan jejak jempolmu di sini.

0 comments:

Post a Comment

Manfaat Crystal-X

Toko Kirana

Cari Loker Disini


Popular Post

PRODUK UNIK JANGAN DI-KLIK
Copyright © 2013 Ahmad Tohari Pages . All rights reserved.. Powered by Blogger.