Ditulis oleh M. Yudhie Haryono
CEO PT Nusantara Bakti Yuda
—Ketika kesengsaraan dan kehancuran rakyat terjadi, mereka taka da. Di negeri yang minus kepemimpinan dan keteladanan ini, para sastrawan sering lari sembunyi di balik gemerlap media. Mereka menjadi artis pemuja uang, pelaksana liberlisme yang saling menggigit di antara sesama—
—memang mereka berkata, “kami adalah potret sekaligus kisah. Tetapi, fungsi kami jelas: menjelaskan revolusi Indonesia”—
Tak ada sihir di dunia kami/apalagi mukjizat/padahal/yang kami hadapi adalah begundal/tukang tipu/pengobral janji/
Tak ada dentuman dalam hidup kami/apalagi kredo besar/
yang jahat makin kuat/yang jujur makin hancur/
Tak ada asa dalam usia tua/apalagi takdir membiru/
kami tahu/republik tak dapat ditiru/
Tak ada bangsa merdeka yang alpa dari sastra. Tak ada perubahan besar yang absen dari puisi dan lagu-lagu perjuangan. Sastra: lagu dan puisi adalah potret diri: cermin dari yang terbaik sampai terburuk. Dari yang pemberani sampai pecundang. Dus, mempelajari sastra adalah mempelajari perang genetika, perang sejarah, perang pemaknaan dan perang pewarisan. Singkatnya, membuat sastra adalah membuat kemenangan agar dibaca anak-cucu kelak. Terlebih, Indonesia adalah tanah subur karya-karya sastra besar: negarakertagama, sutasoma, kidung para wali, kakawin, nagabumi, pararaton, darmogandul, sawerigading, la galigo.
Coba simak lagu kebangsaan reformasi 1998 yang kami gelorakan. Lagu berjudul Darah Juang: di negeri permai ini/berjuta rakyat bersimbah luka/anak buruh tak bersekolah/pemuda desa tak kerja/mereka dirampas haknya/tergusur dan lapar/Bunda relakan darah juang kami/Tuk bebaskan rakyat/Padamu kami berjanji/Padamu kami berbakti. Orang Jawa bilang, dalam berbuat baik harus berfilsafat, “nek wani ojo wedi-wedi. Nek wedi ojo wani-wani.” Berani hidup tak takut revolusi. Takut revolusi, mati saja. Takut mati, ayok revolusi.
Dalam salah satu lagu perjuangan yang berjudul Maju Tak Gentar karya Simanjuntak, kita akan temui kata-kata yang jelas: melawan. Maju tak gentar/membela yang benar/maju tak gentar/hak kita diserang/maju serentak/mengusir penyerang/maju serentak/tentu kita menang/bergerak-bergerak/serentak-serentak/menerkam menerjang terjang/tak gentar-tak gentar/menyerang-menyerang/majulah-majulah menang/.
Demikian pula syair Chairil dalam lagu Sial. Kita dapati semangat perlawanan. Laron pada mati/terbakar di sumbu lampu/aku juga menemu/ajal dicerlang caya matamu/Heran/ini badan yang selama terjaga/habis hangus di api matamu/kamu kayak tidak tahu saja. Pesannya mirip lagu, Indonesia Tanah Pusaka karya Ismail Marzuki. Indonesia tanah air beta/pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dulu kala/tetap dipuja-puja bangsa/di sana tempat lahir beta/dibuai dibesarkan bunda/tempat berlindung di hari tua/tempat akhir menutup mata/.
Dalam sastra dan sejarah, kita akan menemukan apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Sastra akan mengajarkan kita agar tak menjadi tragedi dan ironi. Sasteralah yang menjadi inti revolusi budaya, setelah revolusi fisik dan politik. Dalam revolusi budaya—khususnya dalam bidang musik—ditandai dengan lahirnya syair-syair perjuangan dan propaganda nasionalisme. Dan, musik yang sadar politik dan bernuansa propagandis sejatinya tak asing bagi Indonesia. Bahkan dalam tesis yang lebih panjang, gagalnya revolusi fisik-politik adalah karena kegagalan revolusi (ke)budaya(an).
Teater juga tak kalah dalam investasinya dalam perjuangan melawan kumpeni. Soekarno misalnya sempat menulis dan mementaskan sekitar 12 naskah perlawanan yang diproduksinya di pulau Ende, Flores NTT. Juga beberapa lakon perjuangan bangsa yang dipentaskan di Bengkulu. Singkatnya, kesenian, sastra, puisi, teater, merupakan alat perjuangan yang tidak terpisahkan. Politik dan seni saling melengkapi. Kebuntuan politik dapat ditembus dengan seni. Karena itu, seni dan sastra bukan hanya indah, tetapi juga bisa garang dan berbahaya. Dalam laporan Majalah Warisan Indonesia, Vol. I/No.07/Agustus 2011 tertulis dengan jelas bahwa Teater Adalah Senjata Berjuang. Sebab, perjuangan memang tak harus selalu dengan senjata. Diperlukan banyak senjata-senjata baru dan beragam agar kumpeni tak mudah menundukkan kita. Diperlukan banyak strategi agar perang tak berhenti pada titik kekalahan semata.
Seni, sastra, teater dan puisi berkontribusi dalam pembentukan karakter yang sadar dan melawan. Karakter yang membuat bangsa ini ada dan hadir serta martabatnya terjaga di dunia. Tetapi, jika karakternya hilang, maka wibawa dan martabatnya punah. Sebab, “when character is lost, everything is lost.” Kehilangan karakter adalah awal kehilangan segalanya. Inilah yang menjelaskan mengapa bangsa ini belum mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bangsa ini belum memajukan kesejahteraan umum. Bangsa ini belum mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa ini belum melaksanakan ketertiban dunia. Tentu, itu semua karena bangsa ini banyak diperintah oleh pemimpin dengan karakter lemah, menghamba dan tidak merdeka (inlander). Tentu, karakter pemimpin dan warga negara yang tidak sejalan dengan cita-cita kemerdekaan itulah sumber muasal kesulitan kita semua.
Syair, lagu dan seni lainnya juga berfungsi sebagai kontrol dan kritik sosial. Sebagaimana lagu Surat untuk Wakil Rakyat, yang sebagian besar dari kita hapal liriknya. “Untukmu yang duduk sambil diskusi/Untukmu yang biasa bersafari/Di sana, di gedung DPR/Wakil rakyat kumpulan orang hebat/Bukan kumpulan teman-teman dekat/Apalagi sanak family/Di hati dan lidahmu kami berharap/Suara kami tolong dengar lalu sampaikan/Jangan ragu jangan takut karang menghadang/Bicaralah yang lantang jangan hanya diam/Di kantong safarimu kami titipkan/Masa depan kami dan negeri ini/Dari Sabang sampai Merauke/Saudara dipilih bukan dilotre/Meski kami tak kenal siapa saudara/Kami tak sudi memilih para juara/Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha....../Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu sidang soal rakyat/Wakil rakyat bukan paduan suara/Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"
Bahkan, puisi juga bisa menjadi pengingat dan pemompa semangat bangsa, sebagaimana dalam puisi WS Rendra berikut: “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air/Saat ini kita masih terperangkap lingkaran setan/Kemiskinan/Ketidakpedulian/Korupsi/Kerja asal-asalan/Ayo kita yang tidak mau lagi dijajah oleh kemiskinan dan kesusahan/Kini saatnya Revolusi Kebangsaan/Mari kita berjanji/Aku warga negara Indonesia/Kutumpahkan darahku, badanku dan hatiku/Berperang melawan kemiskinan dan kesusahan/Belajar dan bekerja sungguh-sungguh dengan semua kekuatan otot dan otakku/Menjadi pendobrak kemajuan bangsa dan keluarga/Demi masa depan Indonesia yang bahagia dan sejahtera.”
Dalam studi tentang sastra dan kepemimpinan Indonesia kali ini, kita akan membahas Indonesia dari para sastrawan besar yang ikut aktif mencipta republik. Dari sekian jumlah yang sangat banyak itu, para pahlawan yang akan kita bahas hanya beberapa. Sebab, pastilah mereka yang menjadi “sastrawan besar itu” tak banyak. Pastilah yang ikut merekayasa dan mencipta Indonesia tak beribu. Kita akan menemui mereka dengan perasaan bangga dan gelisah. Bangga karena karya mereka mendunia, gelisah karena generasi penerusnya abai. Mereka antara lain: Chairil Anwar, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Iwan Fals dan Ahmad Tohari. Merekalah sastrawan nobelis kelas dunia.
Kita memilih mereka karena melekat beberapa karakter menyimpang dari kelaziman zaman yang membedakannya dari sastrawan sezamannya. Bagi mereka, uang, popularitas, jabatan adalah akibat, bukan tujuan. Ide dan gagasan adalah yang utama. Karenanya, mereka tak larut oleh budaya pop dan pasar yang seringkali menanggalkan baju idealisme. Mereka memiliki rasa genting antara harapan dan kenyataan. Harap akan bangsanya berbudaya, kenyataan akan bangsanya belum segera bergerak ke arah peradaban besar dunia. Pada wajah Indonesia, wajah dan pikiran mereka dilukiskan, digambarkan dan diperuntukkan buat pembacanya.
Dari Chairil kita mewarisi bahasa politik yang memiliki kekuatan menggerakkan dan idealisme, kalimat kanonik dan melegenda. Karakternya kuat dan percaya diri. Dari Hamka kita mewarisi perjuangan yang tak selesai, sastra yang berpijak dari tradisi dan agama. Karakternya santun dan bersahaja. Dari Sutan Takdir kita mewarisi pikiran bebas dan tindakan progresif, tulisan yang memotret kehidupan riil. Karakternya progresif dan bijak. Dari Pramoedya kita dapati pelajaran ”kekuatan kata dan konsistensi” wajah dunia yang ingin diubahnya, Indonesia yang diratapinya. Karakternya merdeka dan pekerja keras.
Dari WS Rendra kita diajarkan untuk terus melawan dan berproduksi di tengah tekanan dan pelarangan. Dari Iwan Fals kita dibekali usaha yang tak kenal lelah untuk selalu mencoba dan mencoba. Berkarya yang tak berhenti di tengah gempuran budaya liberal yang menggigit. Dari Ahmad Tohari kita diwarisi potret kesungguhan dan kesahajaan yang berbasis dari hati dan iman. Bagi mereka, seni dan sastera harus digunakan secara efektif demi perbaikan hidup rakyat. Mereka menghadirkan sastera demi, untuk dan oleh warga yang merdeka. Mereka telah memulai. Kita kini wajib meneladani. Sebab, kitalah anak-anak ideologis mereka!
Lalu, apa kata dan hipotesa mereka tentang kepemimpinan? Chairil menulis pesannya dengan jelas dalam petikan puisinya, Karawang Bekasi yang terbit 1948: Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir. Negeri ini bergantung pada kalian. Sebab, Cahiril melihat model kepemimpinan Indonesia tidak bisa tunggal, sebaliknya harus bersama bergotong royong dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Tetapi bukan hanya bersama, melainkan juga—meminjam bahasa Alex—bergema dan membangunkan kesadaran diri dari dalam buat pendengar dan pengikutnya.
Sementara kepemimpinan buat Hamka haruslah seseorang yang memilik kemampuan dalam banyak hal tetapi minimal ada empat hal: agama, sastra, politik, dan falsafah atau kebudayaan. Tanpa penguasaan pada empat hal itu, pemimpin pasti akan goyah. Ada tiga aspek penting menurutnya yang mendasari kepemimpinan, yaitu: potensi (fitrah); jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-’aql). Aspek paling penting adalah kejiwaannya karena nanti akan menentukan kemanusiaan dan keadilan dalam menjalankan prinsip-prinsip kenegarawan. Artinya, dalam diri pemimpin harus da potensi, harus punya jiwa yang merasa, harus punya tubuh yang sehat dan sempurna, serta harus punya kedalam akal pikiran gar matang dalam memecahkan soal-soal pelik umatnya.
Sedang bagi Sutan Takdir (STA) pemimpin haruslah orang yang punya visi jauh ke depan dan memiliki rasionalitas yang berkelanjutan. Jika kita punya pemimpin yang berkarakter seperti harapannya, STA yakin, Indonesia tak akan kalah dari peradaban lain. “Saya mau menyabung apa saja, untuk mencegah Indonesia menjadi paria di dunia,” kata STA suatu kali. Pemimpin yang dahsyat dengan demikian, tidak memuja mitos, tidak memuja feodalisme, tidak beragama fasisme. Sebaliknya, ia harus mengagungkan akal, menciptakan demokrasi, menjaga asas kemanusiaan—kalau perlu belajar dari dunia Barat—kata STA.
Kepemimpinan nasional dalam hipotesa Pram adalah kaum muda. Alasannya, mereka adalah generasi yang paling sedikit mencuri, ideologis dan belum terkontaminasi oleh pikiran dan tindakan kotor yang menghkianati republik. Kaum muda revolusioner dan memiliki suatu kekuatan impersonal yang dahyat dan menggelorakan banyak hal. Kaum muda yang tak menyembah Barat (kapitalis), tak menjilat Timur (komunis). Sebab bagi Pram, Barat dan Timur sama-sama penjajah yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Bagi Pram, kaum tua hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat. Kaum tua terlalu banyak pikiran, kurang tindakan. Kaum tua terlalu banyak larangan, terlalu banyak perintah. Kaum tua memproduk penumpang, bukan memperbanyak pengemudi: memperkuat pembebek, melumpuhkan akal budi. Karena itu mereka sedikit sekali pemberontakan, terlalu kecil perlawanan. Bagi Pram, kita tak bisa berharap pada kaum tua. Pada kaum mudalah kita menaruh harapan. Bahwa kaum muda sampai hari ini belum memenuhi harapan kita, biarlah zaman yang menilainya. Zamanlah yang akan menjadi saksi, adakah kaum muda berani melawan atau sekedar menjadi pengemis di negeri ini!
”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali kita kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu, ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.” Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian.” Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa.” Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Bagaimana dengan WS Rendra? Sampai meninggalnya, WS Rendra tetap melihat bahwa tugas presiden adalah memerdekakan warga negaranya. Hal itu ia katakan dengan lantang ketika menyampaikan pidato kebudayaanya. Rendra berkata, ”di awal abad ke-21 tarikh Masehi ini, saya memberi kesaksian, bahwa meskipun Negara Indonesia adalah negara merdeka, tetapi Rakyat Indonesia, atau Bangsa Indonesia, belum merdeka. Adapun para penindas rakyat yang utama adalah Lembaga Eksekutif (pemerintah) Orde Lama dan Orde Baru, serta semua partai politik yang ada.” Kita baca kegelisahnnya dalam Sajak 1990. “Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran/Setelah hak azasi di negera miskin ditekan demi kejayaan negara maju/Bagaimanakah wajah kemanusiaan/Di jalan orang dibius keajaiban iklan/Di rumah ia tegang, marah dan berdusta/Impian mengganti perencanaan/Penataran mengganti penyadaran.”
Lalu apa hipotesa Iwan Fals tentang pemimpin Indonesia? Menurutnya adalah orang yang mampu membongkar KKN. Berani mati dan menyediakan keperluan rakyatnya. Lebih jauh, pemimpin yang harusnya hadir di Indonesia menurut Iwan adalah ia yang, 1)berpegang kepada Tuhan, (2)selalu peka terhadap kehidupan dan kemanusiaan, (3)peduli dengan lingkungan, (4)tak lupa berolahraga, (5)memanfaatkan teknologi secara bijak, dan (6)senantiasai mengambil hikmah dari para tokoh/kejadian terdahulu. Dalam sekian lagu yang ia ciptakan, Iwan melakukan kritik, kontemplasi dan anjuran yang tak kalah banyak dari seniman lainnya. Tetapi garis besarnya adalah kritik atas penyelenggaraan negara dan tema cinta yang saling bertautan agar kita memiliki suara hati dan panggilan jiwa. Tanpa suara hati dan jiwa yang benar, kata Iwan, bangsa ini akan masuk jurang.
Sedang Ahmad Tohari menyebut bahwa pemimpin haruslah punya kecerdasan budaya, kepedulian sastera dan kehalusan akal budi agar bisa berlaku “manusiawi.” Tetapi juga mampu melakukan rekonsiliasi, dikarenakan bangsa ini terlalu banyak luka. Ia juga harus memahami hibridasi dan paham filosofi bhineka tunggal ika. Pemimpin juga harus mau bekerja keras dan berani berkorban demi memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, walau harus mengenyampingkan dan mengorbankan perasaannya, hasratnya dan kepentingannya.
Pemimpin pun harus mampu lega dunya lila ing sirna, tak silau dengan dunia dan berani mati, demi pengabdian memperjuangkan cita-cita bersama, kemakmuran dan ketenteraman negeri. Berani mengalah tanpa harus kalah, yakni bisa mengendalikan diri, demi menjaga ketenteraman rakyat, sambil mencari strategi dan solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan. Bagi Ahmad Tohari, pemimpin dan yang dipimpin harus bekerjasama jika ingin sukses di dunia dan akherat. Dalam salah satu obrolan dengan penulis, Kang Tohari pernah menyatakan bahwa, “di zaman ketika kiamat tertunda yang berakibat pada hilangnya komitmen, kita harus hidup dengan kekurangajaran. Sebuah sikap menolak menuhankan uang. Menulis dan melakoni epos perlawanan walau mungkin tak menang untuk hari ini. Sebab hari ini imaji akan kreta hidup yang teratur berdasar moral telah diruntuhkan oleh kuasa modal. Seni dan kebijaksanaan telah dimusiumkan. Dan, pada detik kematian moral, hidup hanya perulangan tak sempurna, makin buram jika kita tak cerdas membaca tanda.”
Ahmad Tohari juga mengatakan, “hanya imaji dan pengetahuan yang bisa dijadikan senjata melawan lupa.” Hanya imaji, pengetahuan, warisan serta harapan baik yang tersisa yang bisa dijadikan alat obor masa depan. Dari situ, kehidupan layak dirayakan dengan napas kecerdasan dan keyakinan. Mungkin ini yang membuat Ahmad Tohari masih setia pada tradisi: sebuah tanda yang tergambar apik di setiap novel-novelnya. Juga tercermin dari sikapnya yang sangat “biasa.”
Sungguh, jika kita baca karya sastrawan yang jenius maka akan didapati berjuta pesan otentik bagi para pemimpin. Persoalannya, para pemimpin kita seringkali tak baca. Mereka tuli, bisu dan buta pada sastera, juga tak peduli pada rakyatnya. Karena itu, saatnya yang muda waras memimpin dan berkuasa. Siapa tahu nilai-nilai idealitas dan sastra kanonik yang otentik menemukan alasannya untuk hidup di republik.[]
—darah rakyat masih berjalan. Menderita sakit dan miskin. Pada datangnya pembalasan. Kita-kita yang menjadi hakim. Ayok maju bergerak sekarang.
Kemerdekaan akan datang. Tertawa pada tangis. Menangis karena benar—
Temukan artikel-artikel menarik tentang ke-Indonesia-an dan lokalitas hanya di www.ahmadtohari.com
Jangan lupa jatuhkan jejak jempol manismu disini.
Jangan lupa jatuhkan jejak jempol manismu disini.
0 comments:
Post a Comment