Redaksi www.ahmadtohari.com
Ini pertanyaan tak penting
tetapi subtansial. Tentu, di samping ada jawaban subtansial, hadir juga jawaban
emosional, sentimental dan bahkan nostalgik. Emosional karena sebagai sesama
warga Banyumas, kami tak paham benar pada awalnya siapa beliau. Tidak ketemu,
tidak berguru, tidak hirau dan tak membaca karya-karyanya. Padahal pribadinya
luar biasa. Dan, karya-karyanya sudah sangat mendunia. Bahkan lebih banyak
karyanya dibaca warga dunia daripada warga Indonesia, apalagi warga Banyumas
kampung halaman kami. Di sini, kami menjadi maling
kundang yang durhaka jika sikap jahiliyah
ini diteruskan.
Di zaman ketika angka dan rupa
dipuja, kami menjadi sangat sentimental karena bertanya, “di mana ada orang tua
yang uswah khasanah agar dapat
dijadikan contoh generasi muda supaya tak mati sebelum waktu kematian.”
Pertanyaan subtansial ini hadir karena akhir-akhir ini karakter kita semua
sebagai bangsa remuk dilahap api cikeas
yang membabi buta: menjadi angkara murka dan membohongi kita semua. Pada sosok
Kang Tohari (dan Buya Syafii Maarif) kami temukan panutan itu. Padanya melekat
sikap nilai dan subtansi santri Pancasilais yang tak perduli puja-puji dan
gemerlap dunia. Padanya kami menemukan sikap menungso (yang uripe kanggo urup), homo pancasilais, mengedepankan the will to meaning. Yang mengajarkan
ada kebahagiaan dan kewarasan di luar uang dan uang.
Nostalgik karena pada sastra, kami menjadi menemukan hidup. Bagi kami, sastra adalah katup fascinan (kebahagiaan) dan tremendum (kekhawatiran). Sastra menghasilkan mysterium vulkanis yang mampu meledakkan tawa dan tangis sekaligus; hal yang tak kami temukan dalam psikologi, matematik ataupun agama dan teologia. Sastra menghasilkan kaldera, bahkan tragedi dan komedi sekaligus. Di sini, ketika kiamat yang manifest dalam kemiskinan, penderitaan, kebodohan, konflik dan pengangguran dapat dibahas mendalam maupun guyon dengan sama-sama mencerdaskan. Padanya kami bisa merasakan tawa dan tangis, senyum dan sewot secara adil sebagai mahluk yang ditakdirkan berpasangan (azwaj).
Akhirnya, yang subtansial adalah karena kami murid: anak-anak peradaban atlantis yang selalu bernubuwat menjaga warisan masa lalu yang baik dan mencipta masa depan peradaban yang lebih baik. Pada nubuwat yang seperti itu, kami berharap bisa memenangkan pertempuran, mengakhiri peperangan melawan pasar neoliberal kolonial yang mematikan dan melupakan semua hal baik di masa lampau dan di masa datang. Ini perlu menjadi catatan penting karena hari ini, negara kita dikelola mereka yang beriman pada pasar sambil menghianti konstitusi. Padahal, tanpa konstitusi, negara menjadi homo homini lupus.
Singkatnya, mengapa Ahmad Tohari? Ya karena kami tak menemukan lainnya. He is the special one—pinjam ungkapan pelatih sepak bola Mourinho—yang terkenal itu. Padanya kami belajar dan mencoba menemukan kemerdekaan, kemandirian, kemodernan dan kemartabatan. Sebab, padanya, nobel sastra layak diberikan. Padanya, gelar legenda hidup layak disampaikan. Padanya, semoga ijtihad kami tak salah (digunakan).
Kami sadar, kecerdasan tanpa prestasi adalah omong kosong. Prestasi tanpa perkaderan adalah berhala. Perkaderan tanpa gotong-royong adalah setan. Kami sadar, kemiskinan adalah iblis yang menawarkan dusta dan citra. Dengan keadaan dan mental miskin, mereka mendendam. Kami paham kemiskinan adalah setan yang menawarkan kuasa dan korupsi. Dengan agama miskin, mereka bunuh bangsa dan baku pukul sesama. Karena itu, media ini dibuat untuk melawan setan-setan kemiskinan: miskin kapital, miskin moral dan miskin agama. Melawan dengan semangat revolusi. Dus, terpujilah revolusi, terpujilah manusia yang melakukannya, terpujilah moral manusia yang melampaui akal korup dan kedunguan kurap. Dan, dari media inilah nantinya banyak dilahirkan pengemudi, bukan penumpang.[]
Nostalgik karena pada sastra, kami menjadi menemukan hidup. Bagi kami, sastra adalah katup fascinan (kebahagiaan) dan tremendum (kekhawatiran). Sastra menghasilkan mysterium vulkanis yang mampu meledakkan tawa dan tangis sekaligus; hal yang tak kami temukan dalam psikologi, matematik ataupun agama dan teologia. Sastra menghasilkan kaldera, bahkan tragedi dan komedi sekaligus. Di sini, ketika kiamat yang manifest dalam kemiskinan, penderitaan, kebodohan, konflik dan pengangguran dapat dibahas mendalam maupun guyon dengan sama-sama mencerdaskan. Padanya kami bisa merasakan tawa dan tangis, senyum dan sewot secara adil sebagai mahluk yang ditakdirkan berpasangan (azwaj).
Akhirnya, yang subtansial adalah karena kami murid: anak-anak peradaban atlantis yang selalu bernubuwat menjaga warisan masa lalu yang baik dan mencipta masa depan peradaban yang lebih baik. Pada nubuwat yang seperti itu, kami berharap bisa memenangkan pertempuran, mengakhiri peperangan melawan pasar neoliberal kolonial yang mematikan dan melupakan semua hal baik di masa lampau dan di masa datang. Ini perlu menjadi catatan penting karena hari ini, negara kita dikelola mereka yang beriman pada pasar sambil menghianti konstitusi. Padahal, tanpa konstitusi, negara menjadi homo homini lupus.
Singkatnya, mengapa Ahmad Tohari? Ya karena kami tak menemukan lainnya. He is the special one—pinjam ungkapan pelatih sepak bola Mourinho—yang terkenal itu. Padanya kami belajar dan mencoba menemukan kemerdekaan, kemandirian, kemodernan dan kemartabatan. Sebab, padanya, nobel sastra layak diberikan. Padanya, gelar legenda hidup layak disampaikan. Padanya, semoga ijtihad kami tak salah (digunakan).
Kami sadar, kecerdasan tanpa prestasi adalah omong kosong. Prestasi tanpa perkaderan adalah berhala. Perkaderan tanpa gotong-royong adalah setan. Kami sadar, kemiskinan adalah iblis yang menawarkan dusta dan citra. Dengan keadaan dan mental miskin, mereka mendendam. Kami paham kemiskinan adalah setan yang menawarkan kuasa dan korupsi. Dengan agama miskin, mereka bunuh bangsa dan baku pukul sesama. Karena itu, media ini dibuat untuk melawan setan-setan kemiskinan: miskin kapital, miskin moral dan miskin agama. Melawan dengan semangat revolusi. Dus, terpujilah revolusi, terpujilah manusia yang melakukannya, terpujilah moral manusia yang melampaui akal korup dan kedunguan kurap. Dan, dari media inilah nantinya banyak dilahirkan pengemudi, bukan penumpang.[]
Banyumas, 29 Desember
2012
Pimpinan Redaksi
Temukan artikel-artikel menarik tentang ke-Indonesia-an dan lokalitas di www.ahmadtohari.com
Jangan lupa jatuhkan jejak jempol manismu disini.
Jangan lupa jatuhkan jejak jempol manismu disini.
0 comments:
Post a Comment