Ditulis oleh Nurhidayat
Pimred www.ahmadtohari.com
--Ahmad Tohari, Budayawan
sederhana yang mendunia. Meneladaninya adalah kewajiban kita, memuliakannya
adalah wujud bakti kita kepada budaya Banyumasan--
Dan, aku kaget, terbangun dari mimpi indahku. Lalu kucari sumber suara
yang mengagetkanku. Ternyata suara itu bersumber dari alarm. Kulihat jam sudah
menunjukkan pukul tiga pagi. Ternyata memang sudah saatnya bangun dan menulis.
Menulis laku kita, menulis dalam rangka membunuh keegoisan dan membangun
kepedulian. Menulis untuk melawan kekejaman kekuasaan, menulis sebagai
“ritualnya santri modern”. Menulis agar kita makin cerdas membaca tanda.
Lalu, apa yang harus kutulis? Aku jadi teringat pesan singkat kemarin
sore dari Yudhie Haryono, kangmasku inspirasiku. “Kamu harus latihan menulis,
coba tulis tentang Ahmad Tohari, tak usah ambisi, cukup satu lembar saja, yang
penting kamu bisa”. Muncul pertanyaan di benakku, Ahmad Tohari, seorang tokoh
kelahiran Tinggarjaya Banyumas yang sangat fenomenal itu. Apa iya menulis
tentangnya bisa hanya dibuat satu lembar? Sedangkan bertemu dengannya sesaat
saja, aku sudah seperti ngangsu kawruh,
ngaji bertahun-tahun. Bahkan ilmu itu
belum pernah aku dapatkan dalam lima setengah tahun aku “makan” bangku kuliah. Dengan
mengenalnya aku jadi paham bahwa ilmu memang tak ada matinya. Benar kata Tuhan,
“sesungguhnya jika kau menulis ilmu dengan tinta air laut, niscaya sudah
mengering laut itu, dan ilmu pengetahuan itu belum habis kau tulis”. Tapi, ya
sudah lah, mari menulis…
Ahmad Tohari, seorang novelis, budayawan, santri, kyai, pendidik, dan
masih ribuan title lain yang bisa
disematkan padanya. Dia seorang yang luar biasa. Luar biasa sebagai manusia
biasa tentunya, tapi tak pernah merasa luar biasa. Karenanya dia makin luar
biasa. Oleh sebab itu aku menulis “Meneladaninya adalah kewajiban kita”, dalam
catatan pembuka tulisan ini. Lalu, kira-kira apa yang harus kita teladani
darinya?
Kesederhanaan
Ahmad Tohari adalah seorang yang sangat sederhana. “Mas Yudhie, orang
yang hebat itu adalah orang yang bisa naik alphard
tapi dia masih mau naik angkot”, kata Ahmad Tohari di suatu pertemuan dengan
kangmasku. Kata-kata yang biasa bagi mereka yang berfikir dangkal. Tapi sangat
luar biasa bagiku. Dengan perkataannya aku meyakini bahwa dia termasuk dari
sedikit orang yang berkarakter zuhud.
Di jaman di mana kita hidup dalam konsumerism
dan hedonism. Di tengah-tengah
manusia pemuja materi. Dia bebas dari segala macam bentuk kecintaan terhadap
materi dan dunia. Maka, dia pun menjadi manusia berdaulat penuh atas materi
yang dia punya. Tak pernah menghamba, apalagi diperbudak. Dus, diapun bisa
dengan bebas menggunakan materi yang dia punya untuk mengabdikan diri secara
total kepada Sang Khalik. “Aku itu tidak eksis, eksistensiku di dunia hanya
sebagai bukti kebesaran Tuhan, maka aku tidak punya kepentingan dan pamrih
kecuali pamrihku terhadap Tuhan”, katanya. Dengan prinsip itulah dia menjadi
manusia bersahaja. Dia menjadi agen pembawa budaya egaliterian.
Kedisiplinan
Alkisah, pada suatu hari aku hendak mengikuti seminar yang salah satu
pembicaranya adalah Ahmad Tohari. Undangan jam sepuluh, dan aku sudah sampai di
tempat acara jam sembilan tigapuluh. Terkejut aku ternyata dia sudah datang dan
sedang mengobrol dengan salah satu peserta seminar. Jam sepuluh acara belum
juga dimulai, panitia pun belum ada yang tampak. Limabelas menit kemudian Ahmad
Tohari pun kemudian pamit pulang kepada teman ngobrolnya. Dia menitipkan pesan
kepada panitia bahwa dia telah datang.
Dari sekelumit kisah itu, aku jadi makin kagum. Di jaman yang serba molor dan ngaret ini, di saat penghargaan kita terhadap waktu berada pada
titik terendah, ternyata masih ada tokoh besar yang sangat disiplin. Dia
menjunjung tinggi atas anugerah Tuhan yang paling sering kita lupakan. Di
tengah masyarakat yang meyakini bahwa budaya molor dan ngaret itu
adalah kebiasaan orang asli Indonesia. Kita menemukan tokoh yang menyadari
bahwa budaya itu sengaja disuntikkan oleh para penjajah agar kita makin bodoh
dan mudah dijajah. Maka kemudian dia melawan, dan memberi jejak-jejak
perlawanan dengan menitip pesan. “Bangsa kita adalah bangsa penakluk, pernah
menguasai dua pertiga belahan dunia, jadi tak mungkin bahwa bangsa kita
berkarakter pemalas tak tak disiplin”, kata Agus, seorang teknokrat lulusan Gajah
Mada di pengajian “kenduri cinta ma’iyyah Cak Nun”.
Kepedulian
Bila kita membaca dengan seksama, karya-karya Ahmad Tohari. Novel,
cerpen, artikel, dan cerita bersambungnya, sebagian besar menceritakan tentang kaum
papa, kaum miskin, kaum lemah dan marginal.
Rupanya dia sangat memahami kalimat “Tuhan bersama orang yang peduli”. Maka dia
berusaha sekuat tenaga dan fikirannya menjadi manusia peduli, peduli terhadap
kaum-kaum yang memang butuh kepedulian kita. “Ikhlas itu bukan berarti tak
pamrih mas, ikhlas itu justru harus pamrih, tetapi pamrih yang benar yaitu
pamrih kepada Tuhan. Bahwa hidup kita harus bermanfaat bagi wakil Tuhan di
dunia. Siapa wakil Tuhan di dunia? Orang miskin dan lemah”, pesannya padaku.
Berpikir out of box
“Aku heran, mengapa para kyai tak pernah menyebut kata tai (tai: kotoran manusia dan hewan-red)
untuk melukiskan keagungan Tuhan? Padahal kalau kita mengambil tai dan melihatnya dengan mikroskop maka
di sana terlihat kehidupan bakteri, dan wajah Tuhan hadir di sana”, ucap Ahmad
Tohari. Aku makin heran dibuatnya, sebagai orang nahdiyin dan dibesarkan di keluarga pesantren, pemikirannya sungguh
di luar umum. Seperti pilihannya untuk menjadi novelis dan budayawan yang di
luar kebiasaan keluarganya yang kyai dan santri, pemikiran-pemikirannya juga
sangat tak biasa. Paradigmanya tak seperti kebanyakan orang. Dia adalah satu
dari sedikit orang yang tak menganut paham diskriminasi. Bahwa perbedaan itu
bukan berdasar fisik dan materi, tapi berdasar substansi dan norma. Dengan
pemahaman dan pemikiran semacam itulah dia menjadi “man khorijum minal ‘addah”. Aku jadi yakin bahwa meski jaman nabi
telah usai, tapi “mukjizat” masih tetap ada .
Menjunjung tinggi kearifan
lokal
Kecintaan dan passion-nya terhadap
budaya lokal Banyumas dan Indonesia tak perlu dipertanyakan lagi. Itu semua
tergambar pada seluruh karya-karya, ceramah, dan kuliahnya.
“Pemikiranku mungkin mirip dengan Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah-red), tapi aku juga punya kritik kepadanya. Mengapa dia harus
menyingkirkan gending diganti dengan biola? Karena menurutku selain ber-tauhid kepada Tuhan, kita juga harus ber-tauhid pada budaya lokal. Maka kalian
sebagai pemuda Banyumas, kalian harus mengimani calung, ebeg, ronggeng, dan cowongan.
Kalian wajib melestarikannya dan menjaganya dari kepunahan. Membiarkannya punah
berarti tauhid kalian telah rusak”,
ceramahnya.
Harus diakui bahwa masyarakat kita saat ini telah menjadi “latah sok
modern” dengan meniru-niru budaya barat. Kita telah terjangkit virus
westernisasi yang seolah menjadi agen modernisasi. Secara sadar dan tak sadar
kita telah jatuh terjerembab pada budaya “penumpang”, jauh dari budaya “supir”. Kita (sadar atau tidak)
adalah bangsa pengekor bukan lagi bangsa pemimpin. Padahal kita adalah bangsa
keturunan bangsa Atlantis yang mashur, bangsa hebat yang pernah memimpin dunia
(Yudhie Haryono, 2012). Untuk menjadi bangsa yang maju, kata Prof. Eko
Budiharjo, “kita musti menjadi trendsetter
bukan follower”. Dengan kondisi
tersebut bisa dikatakan bahwa kreatifitas dan inovasi tengah sekarat di bumi
pertiwi. Padahal kreatifitas dan inovasi adalah orang tua kandung kecerdasan. Maka
tanpa keduanya kita akan menjadi bangsa yang bodoh. Dan bangsa yang bodoh
adalah bangsa yang mudah dijajah.
Dus, bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh besar yang tetap menyerukan
kearifan dan nilai-nilai lokal termasuk budaya dan tradisi. Dan Tohari menjadi
manusia langka yang masih bangga berbahasa “ngapak” Banyumasan, di tengah
masyarakat yang “sok english”. “Bahasa ngapak itu wajib ‘ain bagi pemuda
Banyumas, bahasa yang lain sunnah saja”, paparnya padaku.
Berfikir kritis
Tohari bertutur, dia mendapat kritikan luar biasa hebat ketika menulis
novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dia diserbu dengan pertanyaan dari keluarganya
dan kyai-kyai terpandang di lingkungannya, “Apakah pantas seorang santri
menulis cerita tentang ronggeng, cerita yang berbau pornografi?”. Lalu Tohari
balik mengkritik dengan pertanyaan elegan, “Apakah kalian tak pernah membaca
ayat Qursyi? Jikalau sering, mengapa
bertanya seperti itu?”. Tohari berpendapat, betapa dangkalnya kita jika kita
terjebak dan mengimani bahwa Tuhan hanya hadir di tempat-tempat yang bersih,
baik, masjid dan tempat ibadah lain. Pada kenyataannya Tuhan itu juga hadir di
tempat-tempat kumuh, comberan, prostitusi, dan tempat-tempat kotor lainnya.
Hanya kita saja yang tak pandai membaca kehadiran Tuhan itu. Kita harus paham
bahwa kehadiran Tuhan terwakili oleh “maa
fii syamawat” dan “maa fil ardh”.
Segala yang di langit dan segala yang di bumi. Maka kita harus cerdas membaca
tanda, agar kita tak menjadi katak dalam
tempurung.
Dalam kesempatan lain, Tohari juga mengkritik para haji. Katanya,
“Pantas saja kehidupan masyarakat kita tak berubah, meski ratusan ribu jama’ah
haji berangkat tiap tahunnya ke Mekkah. Tak ada perubahan signifikan dalam
perbaikan bangsa, karena para haji tak mabrur”. Kemudian kritiknya dia tulis di
Koran Republika dengan judul “Belum Haji Sudah Mabrur”. Lalu apa tanda haji
mabrur, tanyaku. Ada banyak, tapi dua di antaranya adalah: lisannya menjadi
fasih, dan tangannya menjadi dermawan. Fasih dalam menyerukan kebenaran, fasih
dalam mengkritik kebatilan dan keburukan. Dermawan dalam usaha mewujudkan
kepedulian dan pembelaan terhadap kaum lemah. Dermawan menyumbangkan materi dan
pemikirannya dalam memberdayakan kaum miskin.
Dengan pemikiran kritisnya, kita seolah diajak untuk pandai bertanya
sebelum meyakini dan mengimani sesuatu. Dia mengajak kita untuk anti doktrinasi
menjunjung demokrasi. “Dan tak berdosa manusia yang tak memeluk agama, sampai
ia menemukan kebenaran dan kesejatian agama itu”, kata Quraish Shihab.
Menyampaikan kebenaran
“Saat ini aku merasa ada di seluruh sudut dunia, namaku tersebut
hampir di sebagian besar belahan bumi. Mengapa? Sebutlah nama Tuhan di depan orang
banyak maka Tuhan akan menyebut namamu di depan orang banyak pula”, tutur
Tohari. Bagaimana kita menyebut nama Tuhan? Apakah dengan kalimat tasbih, tahmid, dan tahlil?,
tanyaku. Itu juga benar, tapi lebih dari sekedar itu, sampaikan dan serukanlah
kebenaran dan kebesaran Tuhan tanpa takut pada rezim kekuasaan.
Itulah sekelumit tulisan tentang Ahmad Tohari, budayawan sederhana
yang mendunia, tentunya tak cukup satu artikel ini untuk menggambarkan sosoknya
yang luar biasa. Mungkin butuh ribuan episode sinetron untuk melukiskan
kebesarannya. Mungkin butuh banyak diskusi untuk mempelajari dan meneladani
lakunya. Maka kutipan terakhir ini sangat menggambarkan sosok dia yang
fenomenal:
“Aku ra butuh kuasa, aku mung arep nunut kuasane
gusti Alloh. Aku ra butuh sugih, aku mung arep nunut sugihe gusti Alloh”. [NH]
0 comments:
Post a Comment