Home » » Seven Habits Ala Kang Tohari

Seven Habits Ala Kang Tohari

Ditulis oleh Nurhidayat

--Ahmad Tohari, Budayawan sederhana yang mendunia. Meneladaninya adalah kewajiban kita, memuliakannya adalah wujud bakti kita kepada budaya Banyumasan--

Dan, aku kaget, terbangun dari mimpi indahku. Lalu kucari sumber suara yang mengagetkanku. Ternyata suara itu bersumber dari alarm. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ternyata memang sudah saatnya bangun dan menulis. Menulis laku kita, menulis dalam rangka membunuh keegoisan dan membangun kepedulian. Menulis untuk melawan kekejaman kekuasaan, menulis sebagai “ritualnya santri modern”. Menulis agar kita makin cerdas membaca tanda.

Lalu, apa yang harus kutulis? Aku jadi teringat pesan singkat kemarin sore dari Yudhie Haryono, kangmasku inspirasiku. “Kamu harus latihan menulis, coba tulis tentang Ahmad Tohari, tak usah ambisi, cukup satu lembar saja, yang penting kamu bisa”. Muncul pertanyaan di benakku, Ahmad Tohari, seorang tokoh kelahiran Tinggarjaya Banyumas yang sangat fenomenal itu. Apa iya menulis tentangnya bisa hanya dibuat satu lembar? Sedangkan bertemu dengannya sesaat saja, aku sudah seperti ngangsu kawruh, ngaji bertahun-tahun. Bahkan ilmu itu belum pernah aku dapatkan dalam lima setengah tahun aku “makan” bangku kuliah. Dengan mengenalnya aku jadi paham bahwa ilmu memang tak ada matinya. Benar kata Tuhan, “sesungguhnya jika kau menulis ilmu dengan tinta air laut, niscaya sudah mengering laut itu, dan ilmu pengetahuan itu belum habis kau tulis”. Tapi, ya sudah lah, mari menulis…

Ahmad Tohari, seorang novelis, budayawan, santri, kyai, pendidik, dan masih ribuan title lain yang bisa disematkan padanya. Dia seorang yang luar biasa. Luar biasa sebagai manusia biasa tentunya, tapi tak pernah merasa luar biasa. Karenanya dia makin luar biasa. Oleh sebab itu aku menulis “Meneladaninya adalah kewajiban kita”, dalam catatan pembuka tulisan ini. Lalu, kira-kira apa yang harus kita teladani darinya?


Kesederhanaan
Ahmad Tohari adalah seorang yang sangat sederhana. “Mas Yudhie, orang yang hebat itu adalah orang yang bisa naik alphard tapi dia masih mau naik angkot”, kata Ahmad Tohari di suatu pertemuan dengan kangmasku. Kata-kata yang biasa bagi mereka yang berfikir dangkal. Tapi sangat luar biasa bagiku. Dengan perkataannya aku meyakini bahwa dia termasuk dari sedikit orang yang berkarakter zuhud. Di jaman di mana kita hidup dalam konsumerism dan hedonism. Di tengah-tengah manusia pemuja materi. Dia bebas dari segala macam bentuk kecintaan terhadap materi dan dunia. Maka, dia pun menjadi manusia berdaulat penuh atas materi yang dia punya. Tak pernah menghamba, apalagi diperbudak. Dus, diapun bisa dengan bebas menggunakan materi yang dia punya untuk mengabdikan diri secara total kepada Sang Khalik. “Aku itu tidak eksis, eksistensiku di dunia hanya sebagai bukti kebesaran Tuhan, maka aku tidak punya kepentingan dan pamrih kecuali pamrihku terhadap Tuhan”, katanya. Dengan prinsip itulah dia menjadi manusia bersahaja. Dia menjadi agen pembawa budaya egaliterian.

Kedisiplinan
Alkisah, pada suatu hari aku hendak mengikuti seminar yang salah satu pembicaranya adalah Ahmad Tohari. Undangan jam sepuluh, dan aku sudah sampai di tempat acara jam sembilan tigapuluh. Terkejut aku ternyata dia sudah datang dan sedang mengobrol dengan salah satu peserta seminar. Jam sepuluh acara belum juga dimulai, panitia pun belum ada yang tampak. Limabelas menit kemudian Ahmad Tohari pun kemudian pamit pulang kepada teman ngobrolnya. Dia menitipkan pesan kepada panitia bahwa dia telah datang.
Dari sekelumit kisah itu, aku jadi makin kagum. Di jaman yang serba molor dan ngaret ini, di saat penghargaan kita terhadap waktu berada pada titik terendah, ternyata masih ada tokoh besar yang sangat disiplin. Dia menjunjung tinggi atas anugerah Tuhan yang paling sering kita lupakan. Di tengah masyarakat yang meyakini bahwa budaya molor dan ngaret itu adalah kebiasaan orang asli Indonesia. Kita menemukan tokoh yang menyadari bahwa budaya itu sengaja disuntikkan oleh para penjajah agar kita makin bodoh dan mudah dijajah. Maka kemudian dia melawan, dan memberi jejak-jejak perlawanan dengan menitip pesan. “Bangsa kita adalah bangsa penakluk, pernah menguasai dua pertiga belahan dunia, jadi tak mungkin bahwa bangsa kita berkarakter pemalas tak tak disiplin”, kata Agus, seorang teknokrat lulusan Gajah Mada di pengajian “kenduri cinta ma’iyyah Cak Nun”.

Kepedulian
Bila kita membaca dengan seksama, karya-karya Ahmad Tohari. Novel, cerpen, artikel, dan cerita bersambungnya, sebagian besar menceritakan tentang kaum papa, kaum miskin, kaum lemah dan marginal. Rupanya dia sangat memahami kalimat “Tuhan bersama orang yang peduli”. Maka dia berusaha sekuat tenaga dan fikirannya menjadi manusia peduli, peduli terhadap kaum-kaum yang memang butuh kepedulian kita. “Ikhlas itu bukan berarti tak pamrih mas, ikhlas itu justru harus pamrih, tetapi pamrih yang benar yaitu pamrih kepada Tuhan. Bahwa hidup kita harus bermanfaat bagi wakil Tuhan di dunia. Siapa wakil Tuhan di dunia? Orang miskin dan lemah”, pesannya padaku.

Berpikir out of box
“Aku heran, mengapa para kyai tak pernah menyebut kata tai (tai: kotoran manusia dan hewan-red) untuk melukiskan keagungan Tuhan? Padahal kalau kita mengambil tai dan melihatnya dengan mikroskop maka di sana terlihat kehidupan bakteri, dan wajah Tuhan hadir di sana”, ucap Ahmad Tohari. Aku makin heran dibuatnya, sebagai orang nahdiyin dan dibesarkan di keluarga pesantren, pemikirannya sungguh di luar umum. Seperti pilihannya untuk menjadi novelis dan budayawan yang di luar kebiasaan keluarganya yang kyai dan santri, pemikiran-pemikirannya juga sangat tak biasa. Paradigmanya tak seperti kebanyakan orang. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tak menganut paham diskriminasi. Bahwa perbedaan itu bukan berdasar fisik dan materi, tapi berdasar substansi dan norma. Dengan pemahaman dan pemikiran semacam itulah dia menjadi “man khorijum minal ‘addah”. Aku jadi yakin bahwa meski jaman nabi telah usai, tapi “mukjizat” masih tetap ada .

Menjunjung tinggi kearifan lokal
Kecintaan dan passion-nya terhadap budaya lokal Banyumas dan Indonesia tak perlu dipertanyakan lagi. Itu semua tergambar pada seluruh karya-karya, ceramah, dan kuliahnya.
“Pemikiranku mungkin mirip dengan Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah-red), tapi aku juga punya kritik kepadanya. Mengapa dia harus menyingkirkan gending diganti dengan biola? Karena menurutku selain ber-tauhid kepada Tuhan, kita juga harus ber-tauhid pada budaya lokal. Maka kalian sebagai pemuda Banyumas, kalian harus mengimani calung, ebeg, ronggeng, dan cowongan. Kalian wajib melestarikannya dan menjaganya dari kepunahan. Membiarkannya punah berarti tauhid kalian telah rusak”, ceramahnya.
Harus diakui bahwa masyarakat kita saat ini telah menjadi “latah sok modern” dengan meniru-niru budaya barat. Kita telah terjangkit virus westernisasi yang seolah menjadi agen modernisasi. Secara sadar dan tak sadar kita telah jatuh terjerembab pada budaya “penumpang”, jauh dari  budaya “supir”. Kita (sadar atau tidak) adalah bangsa pengekor bukan lagi bangsa pemimpin. Padahal kita adalah bangsa keturunan bangsa Atlantis yang mashur, bangsa hebat yang pernah memimpin dunia (Yudhie Haryono, 2012). Untuk menjadi bangsa yang maju, kata Prof. Eko Budiharjo, “kita musti menjadi trendsetter bukan follower”. Dengan kondisi tersebut bisa dikatakan bahwa kreatifitas dan inovasi tengah sekarat di bumi pertiwi. Padahal kreatifitas dan inovasi adalah orang tua kandung kecerdasan. Maka tanpa keduanya kita akan menjadi bangsa yang bodoh. Dan bangsa yang bodoh adalah bangsa yang mudah dijajah.
Dus, bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh besar yang tetap menyerukan kearifan dan nilai-nilai lokal termasuk budaya dan tradisi. Dan Tohari menjadi manusia langka yang masih bangga berbahasa “ngapak” Banyumasan, di tengah masyarakat yang “sok english”. “Bahasa ngapak itu wajib ‘ain bagi pemuda Banyumas, bahasa yang lain sunnah saja”, paparnya padaku.

Berfikir kritis
Tohari bertutur, dia mendapat kritikan luar biasa hebat ketika menulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dia diserbu dengan pertanyaan dari keluarganya dan kyai-kyai terpandang di lingkungannya, “Apakah pantas seorang santri menulis cerita tentang ronggeng, cerita yang berbau pornografi?”. Lalu Tohari balik mengkritik dengan pertanyaan elegan, “Apakah kalian tak pernah membaca ayat Qursyi? Jikalau sering, mengapa bertanya seperti itu?”. Tohari berpendapat, betapa dangkalnya kita jika kita terjebak dan mengimani bahwa Tuhan hanya hadir di tempat-tempat yang bersih, baik, masjid dan tempat ibadah lain. Pada kenyataannya Tuhan itu juga hadir di tempat-tempat kumuh, comberan, prostitusi, dan tempat-tempat kotor lainnya. Hanya kita saja yang tak pandai membaca kehadiran Tuhan itu. Kita harus paham bahwa kehadiran Tuhan terwakili oleh “maa fii syamawat” dan “maa fil ardh”. Segala yang di langit dan segala yang di bumi. Maka kita harus cerdas membaca tanda, agar kita tak menjadi katak dalam tempurung.
Dalam kesempatan lain, Tohari juga mengkritik para haji. Katanya, “Pantas saja kehidupan masyarakat kita tak berubah, meski ratusan ribu jama’ah haji berangkat tiap tahunnya ke Mekkah. Tak ada perubahan signifikan dalam perbaikan bangsa, karena para haji tak mabrur”. Kemudian kritiknya dia tulis di Koran Republika dengan judul “Belum Haji Sudah Mabrur”. Lalu apa tanda haji mabrur, tanyaku. Ada banyak, tapi dua di antaranya adalah: lisannya menjadi fasih, dan tangannya menjadi dermawan. Fasih dalam menyerukan kebenaran, fasih dalam mengkritik kebatilan dan keburukan. Dermawan dalam usaha mewujudkan kepedulian dan pembelaan terhadap kaum lemah. Dermawan menyumbangkan materi dan pemikirannya dalam memberdayakan kaum miskin.
Dengan pemikiran kritisnya, kita seolah diajak untuk pandai bertanya sebelum meyakini dan mengimani sesuatu. Dia mengajak kita untuk anti doktrinasi menjunjung demokrasi. “Dan tak berdosa manusia yang tak memeluk agama, sampai ia menemukan kebenaran dan kesejatian agama itu”, kata Quraish Shihab.

Menyampaikan kebenaran
“Saat ini aku merasa ada di seluruh sudut dunia, namaku tersebut hampir di sebagian besar belahan bumi. Mengapa? Sebutlah nama Tuhan di depan orang banyak maka Tuhan akan menyebut namamu di depan orang banyak pula”, tutur Tohari. Bagaimana kita menyebut nama Tuhan? Apakah dengan kalimat tasbih, tahmid, dan tahlil?, tanyaku. Itu juga benar, tapi lebih dari sekedar itu, sampaikan dan serukanlah kebenaran dan kebesaran Tuhan tanpa takut pada rezim kekuasaan.

Itulah sekelumit tulisan tentang Ahmad Tohari, budayawan sederhana yang mendunia, tentunya tak cukup satu artikel ini untuk menggambarkan sosoknya yang luar biasa. Mungkin butuh ribuan episode sinetron untuk melukiskan kebesarannya. Mungkin butuh banyak diskusi untuk mempelajari dan meneladani lakunya. Maka kutipan terakhir ini sangat menggambarkan sosok dia yang fenomenal:

Aku ra butuh kuasa, aku mung arep nunut kuasane gusti Alloh. Aku ra butuh sugih, aku mung arep nunut sugihe gusti Alloh. [NH]

Temukan artikel-artikel menarik mengenai ke-Indonesia-an dan lokalitas di www.ahmadohari.com

0 comments:

Post a Comment

Manfaat Crystal-X

Toko Kirana

Cari Loker Disini


Popular Post

PRODUK UNIK JANGAN DI-KLIK
Copyright © 2013 Ahmad Tohari Pages . All rights reserved.. Powered by Blogger.