Nama Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan sudah lama dikenal. Kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya sungguh layak dikagumi. Puluhan novel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi sudah lahir dari tangannya. Sosok Ahmad Tohari sesungguhnya tak hanya menarik dibicarakan berdasarkan karya-karyanya, tetapi juga kesantunan dan kesederhanaan gaya hidupnya. Ia dikenal sangat alergi terhadap simbol-simbol feodalisme dan kapitalisme yang konon sudah demikian kuat membelit sendi-sendi kehidupan bangsa. Sungguh beruntung saya bersama beberapa pengurus Agupena Jawa Tengah yang lain bisa sedikit ngobrol dengan novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jentera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Haridi sela-sela acara menjelang seminar nasional yang digelar di LPMP Semarang pada hari Kamis, 25 Juni 2009, itu.
“Saya sangat marah ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sebagian kemarahan saya tercermin dalam novel Blantik itu,” katanya. Lebih lanjut, sastrawan yang sering disapa dengan “Ramane Srintil” itu mempertanyakan tentang keadiluhungan budaya Jawa yang gencar digembar-gemborkan itu.
“Adiluhung yang mana? Bisakah itu disebut adilihung kalau dibangun berdasarkan nilai-nilai feodalisme yang justru mematikan hak rakyat kecil dalam memperjuangkan eksistensi hidupnya!” ungkapnya dengan nada getir. Dalam masyarakat Jawa, katanya, dikenal strata berlapis tujuh yang menunjukkan status sosial seseorang. Hal itu terlihat dari undha-usuking bahasa, mulai dari sapaan “Sampeyan Dalem” sampai “Kowe”.
“Sekadar untuk menyampaikan pendapat saja kepada “Sampeyan Dalem”, orang Jawa yang menduduki strata “kowe” harus melewati tujuh lapis. Kapan rakyat kecil bisa memiliki kedudukan yang egaliter?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
Ya, ya, ya, begitulah sisi lain yang tampak jelas tercermin di balik sosoknya yang bersahaja. Kang Tohari bisa demikian marah dan geram ketika menyaksikan wong cilik diperlakukan secara tidak adil. Dia tak hanya sekadar beretorika, tetapi benar-benar menyatu dan meleburkan hidupnya di tengah-tengah kehidupan wong cilik. Tak heran kalau dia tetap merasa betah dan nyaman hidup di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika masyarakat urban.
Dalam menggelar perhelatan pernikahan putri bungsunya, dokter Din Alfina binti Ahmad Tohari dan Wiwid Ardhianto SE pun, sejak Jumat hingga Minggu (21/6), Kang Tohari sengaja mengambil tema “Kembali ke Kampung” yang menggambarkan “pemberontakan kultural” terhadap menguatnya akar feodalisme dan kapitalisme itu.
Sebagaimana dilaporkan Suara Merdeka, Kang Tohari sengaja membuat setting perhelatan pernikahan dalam nuansa kampung orang gaplek. Tamu yang hadir silih berganti mengaku gumun memasuki halaman belakang rumah yang menjadi panggung utama dalam pagelaran mantenan itu. Pelataran belakang rumah yang sekaligus menjadi halaman musala Al Hidayah itu disulap menjadi suatu perkampungan, seperti tergambar dalam novel masterpiece Tohari itu. ”Kiye tah mantene wong gaplek (Ini dia perkawinan orang gaplek),” seru Edhi Romadhon, penggerak Komunitas Gethek.
Tohari lantas menunjukkan sekumpulan ketela pohon yang sudah dikupas dan disebar di atap rumah welit (atap ilalang) yang menjadi tempat pengantin jejer. Singkong yang dibiarkan terkena hujan dan panas selama berbulan-bulan itulah yang disebut gaplek. Di masa paceklik, singkong yang sudah ditumbuhi jamur itu jadi makanan pokok warga. Cermin kemiskinan itu selaras dengan gubuk bambu yang dinaunginya.
Seperti seniman lain saat punya gawe, suami Samsiah yang kerap disapa kiai ini rupanya juga sedang bermain simbol. Selain gaplek, tamu-tamu juga tercengang ketika mantenan ini menampilkan apa-apa yang serba ndesa.
”Suasana ini menjadi akar budaya saya, termasuk orang-orang yang kini sudah keluar dari kemiskinan. Sambil mantenan, sah-sah saja dong saya mengajak mereka untuk mengingat orang yang masih kelaparan, di tengah kebahagiaan kita,” kata Tohari.
Hmmm … Begitulah sisi lain sosok Ahmad Tohari yang tidak hanya gencar menyuarakan nasib wong cilik yang terpinggir dan dipinggirkan ke dalam teks sastra, tetapi juga menyelaraskan dan menyatukan “darah kehidupan”-nya di tengah-tengah kehidupan wong cilik yang kesrakat dan bersahaja. Meminjam istilah Bakdi Sumanto, Ahmad Tohari bisa dibilang sebagai seorang resi yang “tapa ngrame”, bertapa di tengah keramaian kehidupan rakyat kecil yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern dan kosmopolit yang sejatinya dengan mudah bisa dia nikmati dalam kemegahan yang sarat dengan sentuhan gebyar duniawi dan godaan nilai-nilai hedonisme. ***
Sumber: www.sawali.info
0 comments:
Post a Comment