Cerpen Hafis Azhari
Seusai menandatangani kontrak terakhir dengan seorang pengusaha
Cina, Haji Husen Hafidudin menghempaskan badannya yang kurus di kursi sofa.
Transaksi kali ini cukup tinggi nilainya, hingga membuatnya tersenyum merekah.
Beberapa hari lalu ia pun merasa beruntung telah menjual persediaan besi-besi
tua kepada perusahaan logistik dengan keuntungan berlipat-lipat. Kini ia merasa
selamat dari dugaan-dugaan negatif akibat krisis moneter berkepanjangan yang
menggelisahkan dirinya. Ia pun sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa di
tahun depan ia akan bertarung kembali dalam persaingan politik untuk menduduki
kursi DPR Pusat.
Namun
yang menjadi persoalannya adalah kesehatan yang belum pulih untuk bersaing
secara terbuka, hingga terkadang merasa kesal dan mengutuk dirinya sendiri:
“Buat apa kekayaan dan kedudukan tinggi di kursi politik, sementara kesehatanku
hancur dan hidupku menderita seperti ini.”
Memang
yang masih tersisa pada Haji Husen di usinya yang menginjak 65-an adalah
tubuhnya yang kurus dan kerempeng. Tapi yang tidak kalah gawat adalah saraf
otaknya yang seakan sudah menjanjikan kematian. Bila ia sedang duduk-duduk
menyendiri di serambi rumahnya, terus-menerus ia dihantui oleh pikiran-pikiran
tentang mati. Ya, persoalan mati itulah yang begitu banyak menyita waktunya
sehari-hari. Suara mobil sirine yang terdengar dari kejauhan pun membuat
otot-ototnya menegang dan jantungnya berdebar-debar.
Urat
sarafnya yang begitu keras menyiksanya, membuatnya lupa tentang segala arti
iman dan kasih sayang Tuhan. Yang dipikirkannya hanyalah tentang kapan ajal itu
akan menjemputnya. Ia terkenang peristiwa yang sudah-sudah dan pernah menimpa
beberapa kerabatnya yang juga terjun ke dunia politik. Di masa tuanya mereka
berbaring dalam kesakitan, dada yang naik-turun, mendengkur terputus-putus
serta biji mata yang guram. Di tengah peristiwa itulah nyawa direnggut dan roh
pun lepas meninggalkan jasad. Seperti itukah yang akan terjadi pada dirinya?
Sedangkan hanya kuku saja yang dicabut, orang bisa merasakan sakit setengah
mati, lalu bagaimana kalau roh atau nyawanya yang akan dicabut?
Sudah
lama ia berharap sekiranya Allah memasukkannya ke dalam golongan orang yang
beruntung, misalnya mati mendadak saat melaksanakan solat. Beruntung sekali
orang yang jantungnya berhenti seketika dalam keadaan ruku maupun sujud, seakan
maut itu bisa mengatur dirinya lantas masuk di saat-saat lengah, hingga
diam-diam menyusup dan mengantarkannya ke pintu gerbang keabadian.
Tetapi
dia merasa kurang yakin dengan pemikiran semacam itu, karena bapaknya dulu, dan
sebelum itu pun seorang pemimpin partai yang dikaguminya, tetap dijadikan
ukuran penting ketika orang-orang menghadapi maut. Kemudian kematian seperti
itu dirasakan oleh hatinya yang sudah kacau bahwa dia pun pasti akan mengalami
sekarat yang lebih parah lagi.
Cukup
lama Haji Husen mengandai-andai perihal kematian, bahkan berfilsafat menurut
caranya sendiri tentang apa yang terjadi sesudah orang itu mati. Pada keadaaan
seperti itu seringkali dadanya terasa sesak, detak jantungnya tersendat-sendat,
badannya dingin dan mukanya basah bermandi keringat. Dia berpikir tentang
apakah yang terjadi nanti: kebangkitan, reinkarnasi, perhitungan dan azab
Allah? Waduh, alangkah jauh (dalam pikirannya) jarak antara kematian dengan
surga itu!
Ia
masih teringat peristiwa beberapa tahun lalu, ketika ia turut-serta menerima
suap, lantas merancang peraturan daerah yang membolehkan adanya penambangan
pasir, hingga terjadilah bentrokan antara pihak aparat dan masyarakat yang
tidak menghendaki sarana dan infrastruktur jadi rusak akibat maraknya truk-truk
liar yang mengangkuti pasir tersebut. Dalam insiden itu, dua orang mati
tertembak dan tujuh lainnya luka berat dan dilarikan ke rumah sakit. Lantas
bagaimana dengan keluarga dan saudara mereka yang masih menuntut hak? Bagaimana
dengan istri dan anak-anak mereka yang semakin tumbuh menjadi generasi-generasi
baru negeri ini? Waduh celaka, alangkah berat pertanggungjawaban dirinya di
akhirat nanti…!
***
Saat
ini ia terus berobat jalan secara rutin seminggu sekali. Dokter tak pernah
memberitahukan apakah ia akan sembuh dari penyakit komplikasi yang
mengakibatkan kejang jantung itu, tetapi hanya menasehati agar ia hidup
berhati-hati dan sederhana. Berkali-kali ia mengeluh kepada dokter langganannya
bahwa ia susah tidur dan pikirannya kacau-balau. Sang dokter menganjurkannya
agar ia pergi ke dokter spesialis saraf. Hingga sejak saat itu ia pun
mondar-mandir mendatangi dokter-dokter spesialis: saraf, jantung, dada, kepala
dan seterusnya.
major-bidi;">Dan
anehnya, orang yang dulunya tak mau percaya kepada ilmu kedokteran, bahkan tak
pernah percaya kepada dokter itu sendiri, setelah sekarang dilanda kegelisahan
dan kecemasan, tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat. Barangkali
jalan pikirannya yang berubah-ubah itu pun termasuk bagian dari gejala-gejala
yang menimbulkan sarafnya terganggu. Ketakutannya pada suatu yang akan terjadi
hampir merenggut nyawanya, hingga ia pun terus-menerus bertempur melawan
pikirannya sendiri.
Tetapi
ketika ia dapat kesempatan meluangkan waktunya untuk berbagi, justru
dimanfaatkannya untuk bertempur melawan orang lain, seakan-akan semua orang
adalah musuh bebuyutan yang selalu mengincar dan merngusik ketentraman
hidupanya. Beberapa pengurus partai yang menjadi bawahannya menyadari bahwa
atasannya itu sudah menjadi orang yang lain sama sekali. Bahkan wakilnya
sendiri sudah angkat-kaki dari partai tersebut lantas berhijrah ke partai lain,
setelah sembilan tahun lebih ia mendampingi sang majikan.
Kemudian
istrinya sendiri pun tak lepas dari sasaran pelampiasan amarahnya. Ia menuduh
istrinya itu telah membuat amalan-amalan dengan mengirim kembang tujuh rupa di
makam Sultan Hasanuddin Banten, agar membuat suaminya lemah tak berdaya. Segala
kecurigaannya kepada siapapun dapat berubah menjadi suatu keyakinan. Ia berang
dan mencaci-maki istrinya, meski sang istri berusaha diam dan bersikap sabar.
***
Segala
perlakuan suaminya itu kemudian diceritakan kepada anak-anaknya, dan mereka pun
turut prihatin. Suatu kali mereka datang dan berkumpul di rumah orang tuanya.
Mereka mengusulkan, untuk menjaga kesehatan bapaknya agar ia bisa istirahat,
sebaiknya rumah besar yang dijadikan kantor DPW di pusat kota itu dijual saja,
meski dengan harga murah. Tetapi sang ayah segera paham apa-apa yang
dianggapnya akan menjadi malapetaka baginya, dan akan menguntungkan buat
anak-anaknya. Dengan sikap dan kata-kata kasar, mereka dicaci-maki
habis-habisan:
“Jangan
berunding macam-macam, saya ini belum mati, dan saya masih hidup sampai
kapanpun! Badan saya masih kuat untuk melawan siapapun! Mau apa kalian datang
ke sini, he? Mau cari perkara? Mau merampas hak saya?”
Dengan tatapan sinis ia pun
memandang wajah anak-anaknya dengan penuh curiga. Kemudian sambil menoleh
kepada istrinya ia pun berteriak:
“Ibumu
ini sudah cerita macam-macam tentang saya ya? Biarin saja, memang dia
kelakuannya seperti itu! Dari dulu dia suka ngomong ke sana ngomong ke sini!
Dari dulu dia mau mencelakakan saya! Lihat saja nanti, kalau saya sudah sembuh,
lebih baik harta saya dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat. Saya sudah tahu
perempuan yang akan bisa menentramkan hati suaminya, yang mengerti kasih
sayang, daripada harta saya dihabiskan untuk orang-orang serakah macam
kalian!”
Suasana
semakin tegang, tak berapa lama seorang anak sulungnya yang pernah menolak
dicalonkan jadi anggota Dewan, angkat bicara:
“Abah,
kami datang dari jauh-jauh mau menengok Abah, mau melihat kesehatan Abah, bukan
untuk tujuan yang macam-macam.”
“Sudah
diam, kamu semua adalah anak-anak ibumu!”
Semua
keluarga undur diri, kemudian berunding kembali di ruang depan. Sang Istri
ketakutan pada rencana suaminya untuk menikah lagi, dan boleh jadi akan
dilaksanakannya dengan nekat. Anak-anaknya merasa prihatin melihat kelakuan
ayahnya. Bahkan ada yang mengusulkan untuk mengambil langkah berjaga-jaga
daripada membiarkannya jatuh ke pangkuan wanita yang hanya mau mengincar
kekayaannya.
Tapi
belum sempat ia mewujudkan rencana dan cita-citanya ke gelanggang politik yang
lebih jauh lagi, ia pun harus siap menyambut datangnya ajal yang hanya ada
dalam rencana Allah Yang Maha Kuasa. Kejadiannya hanya beberapa menit setelah
pertengkaran itu, ketika Haji Husen memaksakan diri melangkah menuju kamar
mandi, lantas menolak untuk dipapah oleh salah seorang anaknya. Tiba-tiba dari
dalam kamar mandi terdengar bunyi “gedebuk” yang mengagetkan seisi rumah
tersebut. Saat itu juga, seluruh keluarganya menyaksikan sang tokoh politik
terkapar di kamar mandi, setelah ia terpeleset dan terpelanting jatuh dengan
kepalanya yang membentur sisi kolam.
Dalam
perjalanan menuju rumah sakit, Haji Husen pun wafat dengan meninggalkan seorang
istri, enam anak dan delapan cucu, serta beberapa rumah dan lahan tanah yang
pada jamannya turut menunjang bagi proses perjalanan partai yang dipimpinnya.
Keesokan harinya muncullah ucapan-ucapan
belasungkawa dari para birokrat dan pejabat tinggi di seluruh koran-koran
Banten: “Kami turut berduka-cita atas wafatnya Haji Husen Hafidudin yang
telah pulang ke rahmatullah dengan damai.” ***
0 comments:
Post a Comment