Cerpen Hafis Azhari
Aku tak pernah melihat perpaduan mata dan alis yang sebegitu menarik
seperti milik Fauziyah. Matanya yang indah memancar bagaikan pelangi sore di
ufuk timur. Bulu matanya yang lentik memang bukan polesan kosmetik Amerika,
hingga selalu mengiringi sorot matanya yang tajam, sekaligus menyimpan
kelembutan hati seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Aku membayangkan
puting susunya yang ranum dan segar, sedang dihisap oleh anaknya yang baru
menginjak satu tahun.
Suasana
banjir di sekitar mesjid Banten membuat Fauziyah terpaksa menitipkan anak
satu-satunya kepada sang ibu. Ia segera mengenakan seragam Gema Nusa Banten,
suatu organisasi yang bergerak di bidang
sosial dan kemasyarakatan. Setelah berpamitan dengan ibunya ia pun bergabung
bersama teman-teman LSM lainnya. Tak terkecuali aku yang satu rombongan
dengannya, meski aku banyak berkiprah di bidang kebudayaan dan penulisan
sastra.
Beberapa
setel baju pengganti ditumpuk di atas peralatan-peralatan medis yang dibawanya
dalam sebuah tas rangsel. Rambutnya yang indah terurai, dibiarkannya terjepit
oleh rangsel yang menggantung di punggungnya. Satuan mobil palang merah sudah
mendahului kami menuju alun-alun Rangkasbitung, di mana posko-posko sudah
didirikan untuk menampung para korban banjir. Kini giliran rombongan kami yang
berjumlah delapan orang, dan siap meluncur menuju mesjid Banten untuk membantu
korban-korban di wilayah itu.
Fauziyah
melompat ke dalam mobil yang kukendarai dengan penuh sigap. Entah kenapa,
inisiatif untuk membantu korban-korban banjir begitu menyala-nyala dalam diriku,
khususnya bila ditemani seorang aktivis LSM secantik Fauziyah. Padahal belum
tentu ia pun merasakan hal yang sama dengan aku. Rasa kemanusiaannya untuk
membantu orang-orang yang membutuhkan tidak sebanding dengan aku yang sering
tergoda oleh kepentingan dan maksud lain, khususnya dalam mencintai seorang
janda beranak satu yang telah ditinggal oleh suaminya. Menurut sumber yang
dapat dipercaya, kabarnya suami Fauziyah telah menikahi teman sekantornya yang
masih ada garis keturunan ningrat, sampai kemudian ia memilih hidup menjanda,
dan baru diceraikan oleh mantan suaminya beberapa bulan setelah kelahiran
anaknya.
***
Korban
pertama yang kami tangani adalah seorang anak berusia empat tahun yang
menggigil kedinginan dengan seluruh badannya yang pucat setelah dua hari
terjebak di tengah-tengah banjir. Rumahnya yang terkepung oleh banjir segera
kami hampiri dengan perahu karet yang kami turunkan dari atas mobil. Di dalam
rumah itu masih ada dua orang kakak dan seorang ibunya yang masih meringkuk di
sela-sela atap rumah. Bapaknya segera membantu kami untuk menurunkan semua
anggota keluarganya, lantas menaikkannya di atas perahu karet.
Sesampainya
di tenda, anak berusia empat tahun itu sudah lemah tak berdaya. Tensi darahnya
betul-betul drop hingga nyaris mengancam keselamatan nyawanya. Fauziyah
melingkarkan selimut di tubuhnya yang terus menggigil kemudian memeluknya
erat-erat. Namun anak itu begitu lemah hingga tak sanggup menelan vitamin yang
kami minumkan ke mulutnya.
“Bu,
tolong peluk anak ini,” Fauziyah memerintahkan pada sang ibu yang sejak tadi
diam di hadapan anaknya, kemudian sambungnya seperti menggumam, “Anak ini butuh
pelukan hangat dari orang yang menyayanginya.”
Tak
berapa lama anak itu perlahan-lahan pulih, kemudian Fauziyah bertanya sambil
tersenyum lembut:
“Siapa
namanya?”
“Umar,”
jawab ibunya singkat.
“Seperti
nama sahabat Nabi?”
“Bapaknya
yang memberi nama.”
“Mudah-mudahan
jadi anak yang kuat dan tangguh seperti Umar bin Khattab.”
***
Wajahku
begitu pucat dan miris bila melihat darah. Tetapi darah itu terus saja mengalir
dari korban kelima yang tertimpa reruntuhan rumahnya yang roboh tersapu banjir.
Dari kening hingga pelipis matanya darah itu sulit untuk dikendalikan, hingga
kami menduga bahwa korban ini memang sudah mengidap suatu penyakit yang
berbahaya sebelum banjir itu datang.
“Jangan
bicara soal yang lain. Tugas kita adalah menolong semua korban-korban banjir
yang sedang berbaring di tenda ini,” lagi-lagi Fauziyah mengingatkan rombongan
kami.
“Jangan-jangan
korban ini dulunya…”
Belum
selesai teman kami bicara, kontan Fauziyah berdiri di hadapannya sambil
berujar:
“Kamu
mau bantu koban banjir, atau mau berdebat tentang dosa dan pahala?”
Aku
merasa tersindir mendengar itu, meski kata-kata itu ditujukan kepada salah
seorang teman kami. Perlahan-lahan aku mendekati korban yang sedang mengalami
pendarahan itu. Keberanianku tak sebanding dengan kepintaran Fauziyah yang
dengan sigap menolong semua korban tanpa kecuali. Ia memutuskan untuk membalut
kepala seorang korban
dengan perban, setelah memborehi obat pada lukanya yang
menganga. Ketika kulihat jari-jari tangan Fauziyah yang ramping, segera
terbayang dalam pikiranku sesosok bidadari cantik yang tergambar dalam
kitab-kitab agamaku.
Aku
tidak tahu, apakah Fauziyah punya kepercayaan dan keimanan yang sama dengan
aku, ketika suatu kali kami istirahat di bawah pohon asam sambil
berbincang-bincang:
“Apakah
kamu percaya adanya sorga di akhirat nanti?” tanyaku sambil tersenyum.
Fauziyah
tidak menjawab, ia hanya menerawang dan menatap ke atas langit.
“Apakah
kamu percaya adanya pahala dari apa-apa yang kita lakukan ini?” pancingku lagi.
“Kita
harus berbuat apa yang mesti diperbuat, Rahmat,” jawab Fauziyah singkat.
“Lantas
apakah kamu yakin bahwa kebaikan yang kita lakukan akan dibalas dengan
kebaikan?”
Fauziyah
tetap membisu, hanya memandang ke arah tenda yang di dalamnya sedang berbaring
puluhan korban-korban banjir yang sedang kami tangani.
“Apakah
kamu percaya bahwa Tuhan campur-tangan dalam peristiwa banjir ini?”
Ia
tidak menjawab, kemudian melangkah ke arah tenda untuk mengurusi korban-korban
yang datang berikutnya.
***
Beberapa
hari kemudian orang-orang berseragam muncul sambil melempar-lemparkan bantuan
yang terbungkus di kardus-kardus. Mobil
mereka nampak mewah-mewah, meski dibeli dari hasil keringat rakyat yang
membayar pajak setiap tahunnya. Beberapa orang memandang kami dari tanah yang
kering di kejauhan sana. Tak berapa lama seorang pesuruh mendekati tenda sambil
mencatat jumlah korban di atas secarik kertas.
“Kalian
dari rombongan mana?” ia melontarkan pertanyaan pada Fauziyah.
“Kami
dari relawan Gema Nusa, Pak.”
“Apa
itu Gema Nusa? LSM bodong ya? Sumber dana dari mana?”
Ia menatap Fauziyah dengan tajam,
kemudian katanya seperti menginterogasi, “Nama Anda?”
“Fauziyah
Nurul.”
“Asal
daerah?”
“Cilegon.”
“Agama
Anda?”
Fauziyah
tidak menjawab. Setelah menyelesaikan beberapa catatan yang diperlukan,
orang-orang berseragam itu kembali menuju kantor-kantor mereka.
***
Selama
enam hari kami menangani korban-korban banjir di sekitar mesjid agung Banten.
Kulihat wajah Fauziyah yang pucat karena kelelahan, meski matanya tetap
terlihat sayu dan menawan. Puluhan korban banjir yang ditanganinya mulai
dipindahkan di posko-posko palang merah terdekat. Menjelang hari ketujuh hujan
deras mengguyur tenda kami. Tubuh Fauziyah mulai menggigil kedinginan, ditambah
dengan kelelahan dan kekurangan tidur selama beberapa hari terakhir. Ia
mengajak aku untuk menjauhi tenda lantas berlindung di bawah menara Banten.
Tak
berapa lama hujan mulai mereda. Fauziyah mengajak aku menaiki tangga-tangga
hingga sampailah di puncak menara Banten. Ia berjalan perlahan-lahan mengitari
menara, seakan menyaksikan perkampungan dan pesawahan yang beberapa hari itu
lumpuh karena terendam banjir.
“Hari
ini banjir sudah mulai surut,” ujar Fauziyah dengan mulut bergetar. Nampak
sekujur badannya masih menggigil sampai kemudian ia mengangkat wajahnya dan
menatapku:
“Peluklah
aku, Rahmat,” tiba-tiba ia menawarkan sesuatu.
“Aku
tak berani, Fauziyah, kita ini orang beragama.”
“Peluklah
aku, darahku bisa beku kalau kamu tidak melakukannya.”
Ia
semakin menggigil. Aku menatap matanya yang indah, kemudian memeluknya dan
membelai rambutnya.
“Peluklah
aku erat-erat, Mat.”
Aku
tidak tahu apa yang dirasakan oleh Fauziyah, ketika sore itu aku memeluknya
erat-erat di atas menara Banten, hingga perlahan-lahan tubuhnya menghangat
setelah seharian ia menggigil kedinginan… ***
0 comments:
Post a Comment