Cerpen Hafis Azhari
Tanggul-tanggul yang membatasi aliran sungai ke
perkampungan dibiarkan keropos selama puluhan tahun. Pada musim hujan tahun
ini, perairan untuk irigasi pesawahan pun rusak, karena pemerintah daerah lebih
mengutamakan alokasi dana untuk perhotelan dan tempat-tempat pariwisata.
Demikian halnya dengan Lurah Herman yang tidak mempedulikan jalan-jalan berlubang,
bahkan jembatan yang menghubungkan Kampung Jombang dengan Desa Kalitimbang
dibiarkan doyong dan tak terawat.
Padahal di sekitar kampung itulah hilir-mudik beragam kehidupan
masyarakat, serta padatnya jumlah penduduk, baik yang pribumi maupun non-pribumi.
Dari kejauhan nampak rumah tua yang dihuni oleh beberapa wanita tunasusila dari
daerah Indramayu, di sebelahnya sebuah warung kopi, kedai cukur dan warung nasi
uduk yang tiap pagi dikunjungi para pelanggan dari kalangan pelajar, pegawai
pabrik, bahkan ibu-ibu pengajian yang tiap Jumat mengikuti ceramah Ustad Basri
di mesjid Al-Mubarok, yang letaknya di dataran tinggi sebelah timur Jombang.
Sekitar pukul sembilan malam, Sinta seorang wanita tunasusila
seperti biasa melintasi jembatan reot itu menuju warung remang-remang yang
terletak di sebelah barat Kampung Jombang. Pada pagi hari jembatan itu
dilintasi pula oleh anak-anak pelajar, para pegawai negeri hingga para pedagang
yang menuju pasar kelapa di Kota Cilegon.
“Suatu saat jembatan itu pasti ambruk, biar para pelacur itu
kapok,” umpat Lurah Herman di hadapan istrinya.
“Pelacur-pelacur itu kesulitan mencari penghidupan karena krisis
moneter di negeri ini yang nggak ada habis-habisnya,” timpal sang istri.
“Tapi untuk apa mereka beroperasi di sekitar kampung kita, kenapa
tidak di desa-desa lain saja?”
“Sudahlah Pak, barangkali suatu saat mereka bisa sadar, buktinya
mereka masih mau menghadiri pengajian, serta mendengar ceramah-ceramah Ustad
Basri setiap hari Jumat.”
“Alaah, sadar taik kucing! Orang maksiat tetap saja maksiat! Orang
kafir tetap saja kafir!”
“Sudahlah, Pak.”
“He, Bu, kita tidak bisa dipermalukan begitu saja… sedangkan bulan
depan desa kita akan mendapat kunjungan dari Bapak Walikota. Mau ditaruh di
mana muka saya, Bu?”
“Sebaiknya diusulkan saja kepada Walikota supaya memperbaiki
tanggul dan jembatan yang sudah tua itu…”
“Sudah, sudah diam! Pokoknya Ibu jangan singgung-singgung soal
jembatan itu lagi. Saya harus fokus memikirkan pemilihan walikota tahun depan.
Biar bagimanapun saya ini kader partai yang sangat diperhitungkan, Bu. Saya
jamin tahun depan banyak masyarakat yang akan mendukung saya. Dan saya tidak
mau pusing dengan urusan-urusan sepele macam ini,” sambil membetulkan lencana
bergambar pohon beringin pada kantong batiknya.
“Pak, soal memperbaiki jembatan bukan urusan sepele,” si istri
terus memberi peringatan, namun kemudian dibentak oleh sang suami:
“Sudah diam, Bu, jangan banyak cingcong!”
Sang istri terdiam dengan mata menerawang. Sudah cukup lama ia
terheran-heran, kenapa suaminya selaku kepala daerah, lebih mementingkan urusan
lainnya ketimbang soal-soal yang harus dibenahi di sekitar desanya. Bahkan
belakangan ia menjalin bisnis perumahan dan pertanahan yang tidak ada
hubungannya dengan perbaikan desa dan kemaslahatan warganya sendiri.
***
Ceramah Ustad Basri yang disampaikan di mesjid Al-Mubarok kali ini
tentang rahasia “Tobat” yang merupakan anugerah Allah dan diberikan kepada
siapapun yang dikehendaki oleh-Nya. Yang terpenting manusia jangan sampai
berputus asa dari kasih sayang Allah, karena hanya Allah-lah Yang Maha Tahu,
kapan waktu dan kesempatan yang tepat buat seseorang untuk kembali ke
jalan-Nya. Tidak ada hak atas manusia untuk menghakimi manusia lain, karena
tugas yang diberikan sebagai khalifah adalah mengajak ke jalan kebaikan, serta
mengingatkan manusia yang berpaling dari jalan kebenaran, menuju ke jalan yang
diridhoi oleh Allah Swt.
Nampak Sinta meneteskan air mata ketika mendengar uraian ceramah
dari Ustad Basri. Di sebelahnya Ibu Lurah bersama para jamaah pengajian ikut
mendengar wejangan sang Ustad, yang diselingi pula dengan doa-doa agar Allah
memberikan cahaya-Nya bagi orang-orang yang berpaling dari jalan-Nya. Beberapa
jamaah dari kalangan bapak-bapak ikut mendengarkan ceramah dengan khusyuk, di
antaranya para pegawai pabrik, para pedagang dan staf-staf kelurahan, kecuali
Lurah Herman yang berhalangan hadir karena harga-dirinya yang tak mau
disejajarkan dengan bawahannya, terlebih-lebih bila ia duduk sama tinggi dengan
kalangan pedagang dan pelacur.
Menurut kabar dari sumber yang layak dipercaya, konon Lurah
Herman
tidak sepakat dengan cara-cara yang ditempuh Ustad Basri, yang gemar
menyampaikan ceramah-ceramah di tempat-tempat prostitusi. Bahkan Lurah itu pun
membangun bangunan megah sebagai mesjid tandingan, karena mesjid Al-Mubarok
yang berlokasi di dataran tinggi Kampung Jombang telah diprakarsai oleh mantan
Lurah yang menjabat sebelumnya. Namun setiap hari Jumat, hanya mesjid
Al-Mubaroklah yang dipakai jamaah untuk solat Jumat, karena mesjid yang dibangun
oleh Lurah Herman sangat jauh dari jangkauan pemukiman penduduk.
Di musim hujan tahun ini, mesjid Al-Mubarok sering pula
dimanfaatkan oleh para pengungsi yang rumahnya terendam banjir karena tingginya
curah hujan serta pendangkalan aliran sungai. Ustad Basri memberikan peringatan
kepada para jamaah bahwa segala kerusakan yang terjadi di daratan maupun lautan
akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri. Suatu kali pernah terjadi perdebatan
sengit dengan Pak Lurah selepas Ustad itu menyampaikan ceramahnya bahwa,
ekploitasi manusia serta eksplorasi alam yang berlebihan adalah penyebab utama
terjadinya kerusakan di mana-mana. Lurah Herman yang sedang sibuk mengurusi
bisnis tanah dan perhotelan merasa terusik mendengar ceramah itu, hingga ia
berencana untuk memposisikan penceramah lain, serta menolak kehadiran Ustad
Basri di Kampung Jombang, beberapa hari menjelang kunjungan walikota di sekitar
kampung tersebut.
***
Sepanjang hari hujan tak henti-henti mencurahkan airnya ke segenap
penjuru provinsi Banten. Beberapa hari kemudian banjir bandang terjadi di
mana-mana, hingga melanda Kampung Jombang dan daerah-daerah yang datarannya
rendah. Pada malam Jumat air bah menghantam perkampungan di sekeliling Jombang,
hingga rumah-rumah terendam banjir. Kegaduhan terjadi di mana-mana, di
sana-sini suara orang-orang berteriak minta tolong, anak-anak menangis
menjerit-jerit ketakutan. Harta benda tak mungkin terselamatkan karena secara
tiba-tiba, sekitar pukul 24.00 tanggul-tanggul yang mengitari sungai
Kalitimbang jebol secara beruntun. Seketika air semakin meninggi, orang-orang
berlarian menuju mesjid Al-Mubarok, termasuk Lurah Herman dan keluarganya.
Sementara itu Ustad Basri beserta keluarganya, baru muncul belakangan
ketika orang-orang sudah berjubel memadati mesjid itu untuk menyelamatkan diri.
Di antara para pengungsi yang berpakaian kumal dan basah kuyup
itu, nampak Lurah Herman lebih mencolok dari yang lain-lainnya, mengenakan
kemeja batik berlencana pohon beringin, dengan kopiah beludru di kepalanya.
Suasana gaduh dan hiruk-pikuk tiba-tiba terhenti ketika Lurah Herman menatap
Sinta dan teman-temannya sesama tunasusila, lantas memekik-mekik seperti orang
kesurupan:
“He, pelacur-pelacur! Kalian mau apa ke sini? Untuk apa kalian
berkumpul di mesjid ini?”
“Tolonglah kami Pak, di mana-mana air semakin meninggi, di tempat
kami sudah terendam banjir,” ujar Sinta membela teman-temannya.
“Itu urusan kalian! Carilah tempat lain, jangan sampai kalian
mengotori mesjid ini… dasar perempuan sampah!”
Melihat keributan itu Ustad Basri mencoba menengahi, “Sabarlah Pak
Lurah… mereka hanya mencari tempat untuk menyelamatkan diri…”
“Tidak bisa! Sudah lama saya menyangsikan kemampuan Anda sebagai
mubaligh. Beberapa hari lagi kampung kita akan kedatangan walikota, dan mulai
saat ini staf saya sudah mendapatkan orang baru sebagai penceramah di mesjid
ini… sedangkan Anda, mulai detik ini saya pecat!”
Ustad Basri menghela napas dalam-dalam. Ia merasa terharu sambil
menatap semua warga dengan penuh kelembutan. Suasana takut dan panik akibat banjir
semakin terobati bila menyaksikan ketenangan dan kelembutan hati Ustad Basri.
Sedangkan Lurah Herman, tetap saja bersikukuh untuk mengusir Sinta dan
teman-temannya agar mengungsi ke tempat lain.
“Tolonglah kami Pak, tempat inilah yang paling aman dari kemungkinan
banjir yang semakin besar lagi. Kami hanya berlindung untuk mencari tempat
aman.”
“Jangan banyak omong, kalian semua sampah masyarakat… kalian semua
orang-orang kafir, dan berhak diazab oleh Allah!” sambil membetulkan posisi
lencananya yang miring.
“Tenanglah Pak Lurah, mereka semua mencari selamat, memang benar
apa yang mereka katakan,” balas Ustad Basri.
“Sudah diam! Sebagai ustad, Anda juga bersekongkol dengan mereka…
Anda juga termasuk pembela-pembela pelacuran di negeri ini!”
“Hati-hati ngomong, Pak Lurah… jangan tergesa-gesa membikin
kesimpulan…”
“Diam kamu! Pokoknya kalau pelacur-pelacur ini tidak mau pergi
dari tempat ini, sekarang juga saya yang akan keluar untuk mencari tempat
pengungsian lain…”
Ustad Basri berusaha menahan kepergian Lurah Herman, karena banjir
semakin membesar dan air bah di mana-mana semakin meninggi. Tetapi Lurah Herman
bersikeras menentang peringatan Ustad Basri hingga kemudian menghilang di
kegelapan malam.
Bunyi gemuruh terdengar dari kejauhan menjelang waktu subuh.
Orang-orang terperangah mendengar suara bergemuruh yang terasa asing di telinga
mereka. Baru keesokan harinya setelah matahari terbit, semakin nampak jelas
tiga sosok mayat tergeletak di bawah jembatan yang ambruk. Adapun salah seorang
dari mereka mengenakan kemeja batik berlencana pohon beringin, dengan kopiah
beludru di kepalanya.
***
-
Dari penulis novel “Perasaan Orang
Banten” dan “Pikiran Orang Indonesia”.
0 comments:
Post a Comment