Oleh Hafis Azhari
“Bangun Din, jangan molor terus, ayo bangun!”
“Jam
berapa sekarang, Mas?” tanya Didin sambil menguap dan mengucek-ucek kedua
matanya.
“Jam
setengah enam,” jawabku singkat.
“Masih
terlalu pagi, untuk apa bangun?”
“Pagi
ini kamu harus bersiap-siap meliput demonstrasi di alun-alun Serang, ayo cepat bangun!”
Sebagai
pemimpin redaksi aku pun menunjukkan surat undangan dari Front Jihad Islam
(FJI) yang ditujukan kepada redaksi Banten Bangkit, sebuah majalah
bulanan yang kupimpin di Provinsi Banten. Undangan itu dikirimkan beberapa hari
lalu, dan aku sudah memberi kewenangan kepada Didin agar meliput semua
rangkaian acara yang akan digelar di alun-alun, bahkan menjanjikan bonus khusus
apabila ia sanggup menampilkan isi ceramah dari Ketua FJI pada rubrik
tersendiri.
Karena
sering bertugas sampai larut malam, seperti biasa Didin sering ketiduran di
kantor redaksi hingga keesokan harinya. Sengaja aku tak pernah memberinya tugas
di waktu pagi, kecuali hari ini, demonstrasi besar-besaran akan digelar oleh
FJI berikut orasi yang akan disampaikan oleh Habib Rojak selaku pimpinannya.
Setelah
membasuh mukanya di toilet, aku pun sempat menanyakan perihal istrinya yang
tengah hamil, namun beginilah jawab Didin:
“Jangan
bicara soal lain, kalau urusan hamil itu tugas perempuan, Mas.”
“Tapi
sebaiknya kamu sering-sering pulang untuk menemani istrimu, daripada begadang
terus-terusan di kantor redaksi.”
“Lho?
Saya kan begadang karena mengerjakan tugas?” katanya membela diri.
“Saya
kira semua tugas untuk majalah kita bisa dikerjakan di waktu siang atau sore
hari.”
Tak
berapa lama kami saling diam, kemudian sambungku lagi, “Sudah berapa bulan
istrimu hamil?”
“Sembilan
bulan,” jawabnya singkat, sambil mengamit ransel dan menggendongnya ke pundak.
Pandanganku
terus mengikuti kepergian Didin sambil tersenyum. Ketika ia keluar dari kantor
redaksi, aku tak sempat menegurnya agar merapikan kemeja dan menyisir rambutnya
yang gondrong berombak itu. Namun di sisi lain tersimpan kebanggaan tersendiri
pada kelihaian Didin yang dikenal sebagai jurnalis yang pandai merangkai
kata-kata, layaknya seorang seniman yang pintar menempatkan diri dalam
imajinasi pembacanya. Terbukti pada hasil reportase yang ditulisnya beberapa
waktu lalu ia berhasil menampilkan berita tentang nasib kaum buruh, berikut
gambar demonstrasi para buruh yang digiring pihak aparat dari keramaian jalan
raya.
Dan
siapa lagi kalau bukan Didin yang berani meliput di tengah-tengah bentrokan
polisi dengan dua kelompok warga Ciomas dalam kasus kepemilikan tanah. Saat itu
pembaca sangat antusias dan oplah majalah kami naik secara drastis.
***
Peringatan
yang kuberikan agar Didin hidup berhemat dan jangan terlalu boros, tak pernah
diindahkannya. Bahkan setelah kunaikkan pendapatan untuknya tetap saja ia
melampiaskan kegemarannya untuk foya-foya bersama beberapa teman wartawannya,
sambil menyewa villa dan minum-minuman di Pantai Anyer.
“Din, sekarang kamu sudah punya
istri, dan sebentar lagi punya anak. Sebaiknya kamu harus merubah gaya
hidupmu,” untuk ke sekian kalinya aku memberi peringatan.
“Mas
ini sebagai pemred atau mubalig sih?” katanya ketus.
Aku
tidak menjawab, hanya tersenyum melihat gerak-geriknya yang cukup legeg. Tak
berapa lama ia pun berkata dengan penuh optimis, “Mau kapan lagi, Mas… mumpung
oplah majalah kita naik terus…”
“Tapi
hidup manusia tidak selamanya di atas, Din.”
"Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; mso-ascii-theme-font: major-bidi; mso-bidi-theme-font: major-bidi; mso-hansi-theme-font: major-bidi;">Lagi-lagi
Didin menampik, sambil menganggap peringatanku sebagai kata-kata idealis yang
berseberangan dengan kebebasannya berekspresi. Baginya, kata-kataku tidak layak
dilontarkan buat jurnalis sekelas dia yang sudah banyak makan asam-garam,
bahkan sudah dipandang kawakan di kalangan para wartawan lainnya.
Tapi
kebiasaan Didin yang gampang meremehkan suatu masalah adalah perkara serius
bagi kehidupan wartawan maupun seniman Banten, khususnya ketika aku
menugaskannya agar meliput demonstrasi di alun-alun Serang, kemudian ia
menerima kabar tentang kelahiran anaknya di rumah Sakit Krakatau Medika.
Keesokan harinya aku pun mengucapkan selamat atas kelahiran anak pertamanya,
bersamaan dengan terbitnya majalah Banten Bangkit edisi kesembilan, yang
memuat berita utama tentang demonstrasi di alun-alun Serang, termasuk foto
Habib Rojak yang sedang berorasi di depan panggung.
Di atas laporan yang dibuat Didin
tentang acara demonstrasi itu terpampang sebuah judul besar: ORASI KETUA FJI
YANG MENGGUNCANG MUSLIMIN BANTEN.
***
Suasana
tenang di kantor redaksi tiba-tiba berubah drastis selepas para jamaah
melaksanakan solat Jumat. Ratusan orang berpakaian jubah dan sorban tiba-tiba
menyerbu kantor redaksi Banten Bangkit sambil menggelar yel-yel dan
melontarkan sumpah-serapahnya. Di depan kantor redaksi ramai-ramai mereka
membakar Banten Bangkit edisi kesembilan, sambil menggelar yel-yel
berbunyi: Majalah Sesat, Majalah Pembohong, Majalah Kafir, Bredel Majalah
Banten Bangkit.
Aku
sendiri tidak mengerti duduk perkaranya, ketika aku pulang dari mesjid dan
berangkat menuju kantor, tiba-tiba orang-orang berkerumun di pintu masuk,
bahkan suara hiruk-pikuk bersahutan dari sana-sini. Sesaat aku berhasil
menghimpun informasi dari sumber-sumber yang layak dipercaya, kemudian menanyakan
Didin sebagai pihak yang terkait langsung perihal pemberitaan demonstrasi di
alun-alun itu.
“Dari
mana kamu mendapatkan foto-foto demonstrasi itu?”
Ia terdiam sesaat, kemudian jawabnya
pelan sambil menundukkan kepala, “Dari internet, Mas.”
“Lantas
foto-foto Habib Rojak yang sedang orasi itu?”
“Dari
orasi beliau sebulan lalu di sekitar Monas, Jakarta.”
“Jadi,
demonstrasi di alun-alun Serang itu, bagaimana?”
“Tidak
ada demonstrasi di alun-alun, mereka membatalkan acara itu.”
“Jadi,
berita yang kamu tulis?”
“Saya
mengarang, Mas.”
Seketika
aku menghempaskan badanku di atas kursi. Dengan pandangan menerawang aku pun
bergumam: “Oo, jadi kamu mengarang reportase tentang peristiwa yang sebetulnya
tidak pernah ada di lapangan?”
Kami
saling membisu dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Didin mengangkat kepalanya
dengan suara memelas, “Mas, saya sedang butuh uang untuk biaya kelahiran anak
saya, jadi mohon maaf saya mengarang semua kejadian yang diberitakan di
alun-alun Serang itu.”
“Tentang
ceramah Habib Rojak di panggung itu?”
“Fotonya
saya dapatkan dari internet, tapi isi ceramahnya saya karang juga.”
Sontak
aku menghela napas dalam-dalam, meski aku pun kesulitan untuk mengklaim
hitam-putihnya persoalan itu, mengingat organisasi FJI tidak pernah mengirimkan
surat pembatalan atas undangan yang pernah dikirimkan ke kantor redaksi kami.
Keesokan
harinya aku menemukan fenomena baru dalam sejarah peradaban Banten, ketika
kasus Didin itu kemudian merebak menjadi headline di koran-koran Banten,
bahkan menjadi perbincangan umum di siaran televisi, majlis ta’lim hingga
warung-warung kopi. Aku hanya terpana sambil mengernyitkan dahi ketika melihat
acara-acara debat dan diskusi di forum-forum pertemuan yang menyatakan bahwa
majalah Banten Bangkit dapat menyulut terorisme dan radikalisme di
Banten.
Di
kalangan akademisi begitu cepatnya mereka berkesimpulan bahwa sosok Didin
adalah bentuk dari jurnalisme kiri, liberal dan sekularis. Di kalangan agamawan
Didin pun digolongkan sebagai wartawan penganut paham Mu’tazilah, Qadariyah,
bahkan ada yang menyatakan beraliran Ahmadiyah. Orang NU menjuluki Didin
sebagai sosok yang memiliki garis Muhamadiyah, begitupun orang Muhamadiyah
menjuluki Didin sebagai sosok yang memilikji garis dari NU. Di kalangan seniman
Didin pun dikategorikan sebagai jurnalis beraliran surrealisme,
eksistensialisme, bahkan ada yang menyatakan supra-naturalis dan seterusnya.
Sementara
mereka sibuk menggelar acara-acara diskusi dan perdebatan, aku bersama
staf-staf redaksi menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah Didin, seraya
tersenyum menyaksikan wartawan Banten yang sedang naik daun itu duduk-duduk di
sebelah istrinya yang sedang menyusui anak kesayangannya. ***
0 comments:
Post a Comment