Oleh Indah Noviariesta
(Aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa, alumni Universitas Tirtayasa, Banten)
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa cukup membangkitkan gelombang kesadaran masyarakat dunia ketiga dari cengkeraman imperialisme dan neokolonialisme, bahkan dari kepentingan ekonomi negeri-negeri industri yang selalu mencari-cari pasar untuk mengorbankan bangsa-bangsa miskin. Lewat perjalanan waktu karya-karya tersebut dinamakan sastra “realisme sosialis”.
Pada prinsipnya Pramoedya sendiri tidak terlampau memusingkan julukan apa yang akan diberikan untuk karya-karyanya. Ia hanya menulis karena suatu keterpanggilan menyaksikan realitas yang ada, dan dengan menulis itu berarti sudah berbuat apa yang bisa diperbuat. Ia menyodorkan kepada khalayak tentang realitas kompleks pada diri manusia mengenai tabiat, karakter dan wataknya. Juga memberikan solusi tentang apa yang sebenarnya, dan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap sesamanya.
Karenanya karya semacam itu dapat digolongkan sebagai sasta yang bersifat multi-religi, bicara tentang manusia dan kemanusiaan secara universal. Ia beritikad membuka mata hati pembaca untuk menyoal ketidakadilan yang seringkali dimanfaatkan para politisi sebagai motor penggeraknya. Ia pun menggugat kepentingan imperialisme dan neokolonialisme yang pada hakikatnya adalah kepanjangan tangan dari sistem penjajahan yang menghendaki lestarinya eksploitasi manusia atas manusia lain.
Tentu saja ada penulis yang serampangan menilai secara hitam-putih belaka, mudah menggeneralisir masalah, hingga dengan nekat menjuluki karya Bumi Manusia maupun Pikiran Orang Indonesia sebagai sekularisme. Tetapi siapa pula yang menyangsikan karya sastra yang bicara tentang nasib ribuan Marsinah, Wiji Thukul dan ribuan Udin Syafrudin, yang berjuang menuntut hak-haknya sebagai karyawan dan kuli tinta, lantas digolongkan sebagai sastra sekularisme yang tidak Islami. Kritik sastra semacam itu terlalu prematur dan terlalu mengada-ada, di saat orang itu belum sempat mengetahui duduk perkaranya, belum sempat mengadakan penelitian secara seksama, bahkan ironisnya, belum sempat membaca isi buku tersebut secara utuh dan menyeluruh.
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia disampaikan tentang lika-liku perpolitikan Indonesia di seputar tahun 1965, tentang masyarakat dalam suatu republik merdeka yang terbelenggu oleh doktrin-doktrin penguasa dengan memahami istilah politik sesuai tafsirannya. Hingga sang penguasa berhasil mengkultuskan dirinya sebagai "bapak pembangunan". Tapi dalam perjalanannya ia tak sanggup menafsirkan pesan-pesan yang tersirat dalam ajaran setiap agama Samawi, bahwa membunuh satu orang tanpa alasan yang benar, sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32).
Masih teringat dalam memori kita bagaimana lihainya kekuasaan itu meluncurkan istilah "Gestapu" untuk menuding pelaku peristiwa G30S. Tujuan politik dari teknik permainan itu sangat jelas, yakni suatu dampak psikologis yang disusupkan ke dalam pikiran rakyat, agar mereka menyejajarkan peristiwa itu dengan konsep "Gestapo" dari partai Nazi Jerman.
Setiap orang yang mengasah nuraninya akan kepekaan sejarah, dapat memahami betapa teknik propaganda ini telah berabad lalu diciptakan manusia, yang biasanya dimanfaatkan sekelompok angkatan perang guna mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, membeberkan lambang mengenai penderitaan manusia, bahkan penyebab dan asal-mula kekejian dan pembantaian, sejak kekuasaan diciptakan sampai kapanpun ia sanggup mempertahankan kebohongan yang dibuatnya.
Tak perlu diherankan mengapa di awal-awal kekuasaannya, Soeharto – selaku kepala Kostrad – mengadakan aksi-aksi terobosan untuk mengambil-alih RRI dan kantor telekomunikasi yang letaknya di jalan Medan Merdeka (seberang kantor Kostrad). Setelah itu berkumandanglah peristilahan negatif diciptakan secara serentak, dari kata G30S/PKI, Kopkamtib, Museum Lubang Buaya, Gerakan
Pengacau Keamanan, Organisasi Tanpa Bentuk, Ekstrim Tengah dan seterusnya. Segala akronim dan peristilahan itu tentu bukan tercetus dari orang-orang bodoh yang sama sekali tak punya harapan akan masadepan, namun ia telah keluar dari pikiran dan gagasan jitu (namun berhati jahat) dari seorang ahli strategi, demi suatu agitasi dan propaganda yang sudah dirancang sedemikian canggihnya (baca: Bahasa Politik Bung Karno dan Jenderal Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta 2002).
Pada hakikatnya “provokasi” atau “indoktrinasi”, selama hal itu bertujuan baik dan mulia termasuk bagian dari amr ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan prinsip seorang beriman. Karena itu suatu agitasi propaganda untuk suatu gerakan revolusioner memang diperlukan. Bung Karno pernah menyampaikan pesan politiknya bahwa, lebih baik "banyak bicara dan banyak bekerja" daripada "sedikit bicara banyak bekerja". Karena setiap pekerjaan mulia dalam menegakkan kebenaran, dibutuhkan bahasa ungkapan untuk disampaikan ke publik, bahkan sebagai perlawanan dan penggugah kesadaran akan adanya ketidakadilan.
Dengan kepiawaian berpidato, serta kecermatan dalam merangkai kata Soekarno telah sanggup menggugah kesadaran jutaan rakyatnya, yang membuat mereka tersentak dan bangkit dari keadaan nasibnya sebagai bangsa-bangsa terjajah. Setelah peristiwa G30S, dia memilih istilah Gestok (Gerakan Satu Oktober) daripada istilah Gestapu (Gerakan September Tigapuluh) yang dibuat-buat Orde Baru. Secara kesejarahan dapatlah dimengerti bahwa peristiwa itu sudah melewati jam 24.00, yang berarti sudah memasuki tanggal 1 Oktober 1965. Selain itu secara kebahasaan tidaklah kalah pentingnya, karena susunan kata yang dipakai dalam sistem penanggalan kita adalah, kata yang diterangkan mendahului kata yang menerangkan. Jadi tepat sekali, bila anakronisme itu hendak diciptakan mestinya "Tigapuluh September" dan bukan "September Tigapuluh".
Karena itu berhati-hatilah ketika ada seorang jenderal bermental fasisme menuduh komunisme-marxisme-leninisme, karena belum tentu dia paham apa maksudnya, ketimbang seorang Guru Besar Sosiologi mengajarkan matakuliah Marxisme di kampus perguruan tinggi. Kita pun masih ingat pula akronim "Jas Merah" yang dicetuskan langsung oleh Bung Karno, yang berarti "jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Dengan kecermatannya berbahasa, Soekarno cukup peka dan tanggap dalam menciptakan suatu peristilahan, yang membawa kita pada bayangan pasukan kemeja merah Garibaldi, seorang pemimpin revolusi liberal yang berjuang memerdekakan rakyat Italia pada tahun 1830-an.
Tetapi kemudian di negeri ini, teknik propaganda yang bercita-cita mulia itu telah diambil-alih oleh klik kepentingan penguasa totaliter, dengan kembali mengamalkan pola-pola yang dipakai Hitler, Jengis Khan, Franco hingga Musollini, dipraktekkan kembali oleh seorang jenderal bekas tentara KNIL yang pernah mengabdi pada pendudukan Belanda. Teknik propaganda itu dimanfaatkan untuk kepentingan beberapa gelintir elit penguasa yang menghendaki program-program Amerika – dan negeri-negeri industri – berjalan mulus di bumi Indonesia selama 32 tahun, dan terus mengepung keseharian kita hingga hari ini.
“Sepulang dari tahanan politik di Salemba, saya merinding menyaksikan visualisasi kreatif Orde Baru, dengan membikin-bikin cerita tentang adanya kaum wanita yang menari-nari mengelilingi mayat para jenderal. Badan saya merinding bukan lantaran kreatifitas mereka, tapi karena tak pernah menduga mengapa ada manusia Indonesia tega memfitnah saudaranya sendiri, serta membikin-bikin kebohongan sebegitu kejinya!” demikian pernyataan Joesoef Isak, mantan sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, mantan pemred Merdeka, bersama ratusan wartawan lainnya yang pernah ditapolkan oleh penguasa Orde Baru.
Sebagai penutup tulisan ini, saya akan kirimkan (attach) novel berjudul PIKIRAN ORANG INDONESIA, setelah beberapa waktu lalu saya mendapatkan izin dari penerbit dan penulisnya (Hafis Azhari). Bagi yang ingin menampilkan novel ini dalam media yang Bapak/Ibu pimpin, justru kami ucapkan terimakasih, karena kami meyakini bahwa kebaikan yang disampaikan kelak akan berbuah kebaikan yang berlipatganda, sebagai balasan bagi orang-orang yang konsisten dan sabar dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, selamat membaca…. ***
0 comments:
Post a Comment